Sebuah cerita baik cerpen, cerpan atau bahkan novel,
tentu memiliki beberapa
unsur yang saling mengikat. Unsur-unsur tersebut antara lain; tema, tokoh,
alur, setting, dan gaya cerita. Tanpa adanya kelima unsur tadi, maka kehadiran
cerita akan hambar. Bahkan cerita tak bisa hidup. Karena tak bisa menggambarkan
ada apa, siapa, bagaimana, dan di mana kisah itu diceritakan.
Dalam tulisan ini saya tidak akan mendifinisikan apa
itu tema, tokoh, alur, maupun gaya cerita. Namun salah satu unsur saja yang
kiranya perlu saya uraikan di sini, yaitu setting
cerita.
Setting
cerita sering dikatakan pula
dengan istilah latar cerita. Yaitu
sebuah unsur cerita yang menggambarkan ruang, waktu, dan letak di mana cerita
itu terjadi. Contoh setting cerita yang menggambarkan ruang.
Mendengar bel
berdering,
Melati , Gadis , Teten, Dhestya, Jaka, Bahtiar, dan aku sendiri segera lari
menuju kelas.
“Hore.......!”seru
kami ramai berebut pintu kelas dengan anak yang lain.
Dalam sekejap
keramaian itu pun berpindah ke dalam kelas. Banyak percakapan dan cerita
teman-teman yang tercurah di situ. Banyak ragam cerita mereka. Ada yang bercerita
tentang PR Bahasa Indonesia yang belum selesai dikerjakan. Ada yang
memperbincangkan pengalaman sepanjang perjalanan ketika berangkat sekolah tadi
pagi. Bahkan ada pula yang membicarakan bagusnya acara sinetron remaja yang
mereka saksikan kemarin petang di layar televisi. Percakapan kami baru bisa terdiam oleh kehadiran Bu Guru Nuning ke dalam kelas.
“Selamat pagi,
Anak-anak!”sapa Bu Guru kami yang amat lincah itu dengan ramah.
“Selamat pagi,
Bu..........!”balas kami serempak.
“Pelajaran apa
sekarang, Anak-anak?”lanjut Bu Guru yang masih muda belia tadi seraya tersenyum
manis.
“Bahasa
Indonesia, Bu.......!”sahut Bahtiar lantang dari bangku belakang.
“Oh, ya?”sahut
Bu Guru yang berlesung pipit di kedua pipinya
tadi sambil mengambil duduk di kursi kerjanya.
“Iya,
Bu!”kembali Bahtiar berseru untuk meyakinkan Bu Nuning.
“Baiklah,”sahut Bu Guru yang cantik itu dengan
ramah.“Sebelum Ibu berikan pelajaran Bahasa Indonesia,”demikian lanjutnya.
“Terlebih dulu akan Ibu bacakan sebuah pengumuman penting untuk kalian.”……(Sardono Syarief, dalam Novel”Cermin di Tengah
Batang”).
Dari petikan cerita di atas dapat disimpulkan bahwa
cerita tersebut terjadi di dalam ruang kelas. Di sana terjadi interaksi antara
tokoh anak-anak dan Bu Guru Nuning.
Tampaknya cerita tersebut juga telah mengandung unsur setting waktu, yaitu saat bel berdering….. Mendengar bel
berdering,
Melati , Gadis , Teten, Dhestya, Jaka, Bahtiar, dan aku sendiri segera lari
menuju kelas.
Di sini saya
berikan pula contoh tentang setting waktu
sebagai berikut.
Sementara, malam
kian larut. Meski demikian mata Bu Maya
tak bisa terpejam sedikit pun. Bayangan kecurangan Pak Salim sangat mengganggu
pikirannya.
“Bagaimana kalau
Pak Salim tetap memaksa agar saya membayar sewa kamar yang tidak diakuinya
itu?”resah hati Bu Maya. “Ah, masa
bodoh! Mengapa saya harus berpikir
terlalu berat? Jika Pak Salim memaksa,
saya akan berjanji dulu. Yang penting besok pagi-pagi benar saya harus keluar
dari rumah ini!”demikian Bu Maya berusaha menenangkan diri.
Malam makin sepi.
Dari gardu di ujung gang terdengar kentongan dipukul orang dua kali. Saat itu
barulah Bu Maya dapat terlelap tidur. Pulas. (Sardono Syarief, dalam Novel “Ayah”)
Petikan cerita
di atas menggambarkan bahwa cerita itu terjadi pada waktu tengah malam. Yaitu
saat Bu Maya resah tak bisa memejamkan matanya hingga kentongan bertalu dua
kali dari gardu ronda yang menandakan saat itu pukul 2 dini hari.
Adapun cerita yang bersetting
letak, dapat saya contohkan demikian.
Malam itu, Iwan
dan Trio ngobor jangkrik genggong di persawahan timur kampung. Persawahan yang
baru saja dipaneni kacang tanahnya kemarin siang itu, memang cukup banyak
jangkriknya. Sehingga bukan Iwan dan
Trio saja yang maghrib-maghrib sudah tiba di tempat itu. Tetapi banyak juga
teman kedua anak tersebut yang ikut berdatangan ke sana.
(Sardono Syarief, dalam Novel “Upah si Raja Jangkrik”)
Setting cerita pada paragraf di atas menggambarkan
bahwa kejadian ceritanya berada di persawahan timur kampung. Di situ banyak
anak sibuk mencari jangkrik genggong, hingga lupa waktu sholat maghrib bagi
mereka.
Contoh lainnya.
“Nak Lia..! Nak, Nak
Lia…! Tolonglah saya, Nak. Saya sakit,
Nak Lia…!”suara memelas itu keras lagi berulangkali datangnya. Hingga kagetlah
Lia, ketika ia menoleh dan mendapatkan sesosok tubuh perempuan renta yang
terkulai di pinggir jalan.
“Lho, kok Nek Saidah?
Mengapa Nenek berada di sini? Mengapa kaki kanan Nek Saidah berlumuran darah?”
“Ta,ta,tadi, Nenek
ditabrak Honda dari belakang, Nak Lia. Tapi motornya terus lari meniggalkan Nenek,”tutur Nenek
renta yang terkulai di bawah pohon
mahoni itu agak tesendat.
“Duh, kasihan sekali
engkau Nek!”dengan perasaan penuh iba, Lia berseru. Anak itu gugup. “Mari ikut
Lia ke Puskesmas, Nek!”dipapahnya Nek Saidah dengan hati-hati.
“Pak Penarik Becak!
Tolong saya, Pak!”panggil Lia kepada seorang pengemudi becak yang kebetulan melintas tak jauh dari tempat
itu.
“Ke mana, Nak?”
“Ke Puskesmas terdekat,
Pak!”pinta Lia. (Sardono
Syarief, dalam Novel “Seuntai Kalung Emas”)
Cerita di atas menggambarkan settingnya terletak di
pinggir jalan, di bawah pohon mahoni. Tak pernah disangka oleh Lia kalau Nek
Saidah, tetangganya terkulai di situ akibat terlanggar sepeda motor yang tak
mau bertanggung jawab.
Nah, kiranya dengan sedikit penggalan cerita sebagaimana
yang saya contohkan di atas,
mudah-mudahan bisa bermanfaat dan menambah sedikit wacana bagi rekan-rekan,
khususnya penulis pemula yang berkeinginan untuk menerjunkan diri sebagai
pengarang fiksi. Selamat berkreatifitas!
ijin copas pak
BalasHapus