Oleh Sardono Syarief
Bu Maya beranjak dari bibir ambin. Kemudian berjalan menuju meja kecil
yang terletak di sudut kamar. Setelah sesaat dipungutnya sisir merah yang
tergeletak di meja tersebut, ibu muda tadi berdiri di depan almari kaca.
Pelan-pelan ia menyisir rambutnya. Setelah itu, tipis-tipis ia memoles pipinya dengan bedak kecantikan
yang dimilikinya. Bu Maya tampak mulai berdandan diri.
“Ibu mau berangkat kerja?”tanya Arini yang sedari tadi turut duduk di
bibir ambin. Anak itu memperhatikan gerak-gerik ibunya yang sibuk di depan
almari kaca.
“Ya, Nak. Ibu mau bekerja untuk mendapatkan uang,”jawab Bu Maya sambil
menoleh ke arah Arini.
“Untuk membayar sewa kamar ya, Bu?”
“Tidak,”sahut Bu Maya cepat. “Untuk ongkos pindah dari rumah ini, Rin.”
“Oh ya, Bu! Rini mengerti,”seraya berkata begitu, Arini turun dari tempat
duduknya. Lalu melangkah mendekati ibunya. Sambil memegangi ujung baju ibunya,
anak perempuan itu bertanya.
“Rini ikut ya,Bu?”Arini tengadah memandangi ibunya.
Sebelum menjawab Bu Maya tersenyum. Diletakkannya sisir merah dan setepak
bedak pada tempatnya semula.
“Hari ini Ibu kesiangan, Nak. Bagaimana kalau Ibu pergi sendirian
saja?”ujar Bu Maya memohon pengertian anaknya.
“Arini di rumah harus dengan siapa, Bu?”
“Kamu bisa bermain di rumah Mbak Teten.”
“Bukankah Mbak Teten pergi sekolah, Bu?”
Bu Maya terdiam. Benar juga, pikirnya.
Pagi itu, Mbak Teten, putri tetangga sebelah pergi sekolah. Sebab pagi itu bukan hari
Minggu, melainkan hari Senin.
“Di rumah sendirian kau berani bukan, Rin?”
Arini menggeleng.
“Kenapa?”
“Arini takut Pak Salim datang ke mari, Bu. Arini ikut Ibu saja, ah…!”anak
itu merajuk.
“Kalau begitu, lekas ganti pakaian!”Bu Maya menerima alasan anaknya.
Arini segera melapas baju yang dikenakan. Dari dalam almari pakaian, anak
itu mengambil kaos oblong putih dan celana beludru hitam.
“Sudah siap, Rin?”tanya Bu Maya seraya memandangi anaknya yang sedang
bercermin mematut-matut diri.
“Sudah, Bu.”
“Mari, kita berangkat!”ajak Bu Maya. Digandengnya lengan kanan Arini
dengan erat. Diajaknya anak itu keluar rumah.
Setelah sesaat dikuncinya pintu
depan dengan pasti, pergilah ibu
muda tadi ke tempat kerjanya bersama Arini. Keduanya melangkah menyusuri gang
kecil penghubung jalan raya.
“Stop, Om …!”tangan kiri Bu Maya
melambai-lambai menghentikan laju mikrolet angkutan kota yang menuju terminal bus induk
Pulogadung.
“Silakan masuk, Bu!”sambut kernet mikrolet ramah.
Dengan hati-hati Bu Maya memasuki kendaraan beroda empat tersebut. Tak
lupa dibimbingnya pula Arini lewat pintu yang sama.
“Tarik…..!”teriak kernet memberi aba-aba pada Pak Sopir. Mikrolet
perlahan-lahan meluncur dengan cepat. Dari knalpotnya tampak keluar asap putih
tersembur panjang. Mobil kecil itu menyusup di antara lalu-lalang kendaraan
lain di sepanjang jalan hingga tiba di terminal bus induk Pulogadung.
Bu Maya turun dengan diikuti Arini.
“Terlalu siang benar datangmu hari ini, Bu Maya?”tegur Bu Marni, majikan
warung makan tempatnya bekerja.
“Maaf, Bu. Baru ada tamu,”sahut Bu Maya beralasan.
“Tamu dari mana, Bu?”tanya wanita setengah umur yang bertubuh gendut dan
berambut pendek itu menyelidiki.
“Dari Pekalongan, Bu,”lagi-lagi Bu Maya berbohong.
“Saudara?”
“Betul, Bu!”Bu Maya mengangguk.
“Ya sudah. Bekerjalah cepat! Itu tumpukan piring kotor telah menunggumu
sejak pagi tadi.”
“Baik, Bu,”Bu Maya berlalu ke dalam.
“Arini…!”panggil Bu Marni begitu melihat anak itu membuntuti Bu Maya.
Arini menoleh.
“Saya, Bu,”sahut anak kecil itu sopan.
“Sini…!”panggil Bu Marni sekali lagi seraya duduk di bangku warung.
Arini mendekat Bu Marni.
“Kau sudah sarapan?”sapa si pemilik warung makan tadi kepada Arini.
“Sudah, Bu.”
“Oh, ya? Kalau sudah, sana bermain di belakang! Sambil bantu Ibumu
bekerja, ya!”
Sembari mengangguk, Arini menyahut,”Baik, Bu.” Anak itu kemudian berlalu
meninggalkan Bu Marni yang tengah duduk-duduk santai di bangku warung.
Rupanya Arini kenal betul akan tabiat Bu Marni, majikan ibunya tadi. Bu
Marni kadang keras, namun kadang
suka ramah juga.
“Bu Marni….,”ujar Bu Maya manakala senja sudah tiba.
“Ya?”Bu Marni melepas pandang ke arah Bu Maya. “Ada perlu dengan saya?”lanjutnya sembari
mengambil duduk di bangku warung.
“Betul, Bu!,”jawab Bu Maya seraya tersenyum yang dibuat-buat. Ia
mengambil duduk di hadapan Bu Marni.
“Coba katakan, Bu Maya!”
“Maaf, Bu,”ujar Bu Maya setengah ragu. “Apakah kiranya Bu Marni masih
bisa menolong saya?”lanjut Bu Maya mengamati wajah majikannya.
“Maksud Bu Maya?”kening Bu Marni sedikit berkerut.
“Begini, Bu,”Bu Maya mulai mengutarakan maksud hatinya. “Tadi pagi saya telah
mendapat teguran dari Pak Salim, Bu. Katanya, seminggu lagi masa sewa kamar saya sudah berakhir.”
“Oh, ya?”timpal Bu Marni acuh tak acuh. “Lalu, maksud Bu Maya?”kening Bu
Marni makin berkerut dalam.
“Saya bermaksud hutang bayaran kepada Ibu.”
Mendengar itu, Bu Marni makin acuh tak acuh. Matanya bukan memandangi Bu
Maya, melainkan memperhatikan lalu-lalang orang yang sibuk melintas di depan
warungnya.
“Masalah bayaran untuk upah kerja, tak usah Bu Maya cemaskan!”kata
majikan gendut itu manakala berpaling kembali ke arah Bu Maya. “Bukankah saya
selalu bisa tepat waktu dalam memberi bayaran setiap akhir bulan, Bu Maya?”
“Benar, Bu,”Bu Maya membenarkan. “Namun kali ini saya memohon, agar sudi
kiranya Bu Marni bisa memberikan pinjaman bayaran sebelum tiba akhir bulan,
Bu!”
“Aduuuuuuuuhhhhh….! Maaf sekali, Bu Maya,”Bu Marni menggeleng-gelengkan
kepala, tanda keberatan.
“Bagaimana, Bu?”tanya Bu Maya
mengharap pengertian majikannya.
“Ibu rasa, tak bisa, Bu Maya.”
“Kenapa, Bu? Apakah Bu Marni tak menaruh iba pada saya, Bu?”rengek Bu
Maya memelas.
“Kalau saya tak kasihan,”sahut Bu Marni. “Mana mungkin saya memberi
bayaran enam ratus ribu rupiah kepada Bu Maya dalam setiap bulannya? Di warung lain tak ada lho…!”
“Tapi, Bu,”sahut Bu Maya penuh harap. “Dengan uang sebanyak itu, saya
belum bisa melunasi sewa kamar Pak Salim, Bu.”
“Itu urusan kamu, Bu Maya! Jangan kau ikut campurkan saya,”ketus sekali
Bu Marni tampaknya.
“Apakah Ibu tega melihat saya diusir Pak Salim?”
Bu Marni tersenyum masa bodoh.
“Sekali lagi, itu urusan kamu, Bu Maya!”kata si pemilik warung makan
tersebut tidak peduli.
“Apakah Bu Marni tetap tidak bisa memberikan pinjaman uang kepada saya,
Bu?”
“Benar!”dengan tegas Bu Marni menjawab.
“Apakah Ibu tega melihat saya dan anak saya diguyur hujan dan dibakar
terik matahari, Bu?”
“Tega saja! Mengapa tidak?”sahut
Bu Marni sinis.
“Kalau begitu, baiklah,”ujar Bu Maya pada akhirnya. “Berhubung hari sudah
petang,”sambungnya lirih. “Saya mohon pamit untuk pulang, Bu,”dengan hati penuh
kecewa Bu Maya meminta diri.
Bu Marni tidak menyahut sepatah kata pun. Hanya senyum sinis di
bibirnya saja yang mengiringi kepergian
Bu Maya dan Arini. Ibu dan anak tadi melangkah meninggalkan warung makan Bu
Marni dengan langkah gontai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan masukkan komentar Anda dengan sopan dan tidak berbau SARA.