Oleh Sardono
Syarief
Sejak hidup serumah dengan keluarga Pak
Arif, nasib Bu Maya berangsur membaik. Ia yang semula berbaju dua tiga setel,
sekarang lebih dari sepuluh setel yang dimiliki. Ia yang semula tidak memiliki
seuntai kalung, gelang, dan cicin emas, sekarang pun ia memiliki. Begitu pula
dengan Arini, anaknya.
Gadis kecil yang semula sering murung, kini hilang sudah sikap murungnya.
Anak itu lincah, riang, murah senyum,
ramah, sopan lagi penurut pada semua perintah dan nasihat orang tuanya kembali.
Hidup mereka kini benar-benar telah berubah. Semua itu berkat pekerjaan yang
diberikan Pak Arif. Betapa tidak senang, bila dalam sehari Bu Maya dapat
mengantongi penghasilan bersih seratus ribu rupiah? Upah sebesar itu diperoleh
dari gesitnya Bu Maya dalam menjahit sepuluh potong baju orang dewasa. Apa lagi
Bu Maya orangnya mampu menyelesaikan jahitan lebih dari jumlah tadi. Tidakkah
penghasilan Bu Maya akan bisa lebih dari seratus ribu rupiah dalam waktu
sehari?
Itu pula sebabnya, ketika Pak Arif dan istrinya sedang duduk-duduk di
ruang tengah, Bu Maya sengaja datang menyela.
“Selamat malam Mas Arif dan Mbak Tari,”sapa Bu Maya sopan.
“Selamat malam, Mbak Maya,”sahut Pak Arif begitu menoleh ke arah Bu Maya.
“Ada perlu dengan kami, Mbak?”sambungnya.
“Ya, ada, Mas,”jawab Bu Maya seraya mengangguk.
“Kemari, Mbak!”panggil Bu Tari mempersilakan sahabatnya mendekat.
Bu Maya menurut. Dengan langkah hati-hati ibu muda itu mendekat
majikannya yang malam itu sedang menyaksikan acara televisi bersama Dina, anak
putrinya.
Ketika Dina melihat Arini datang bersama ibunya, dengan segera anak itu
bangkit dari pangkuan Bu Tari.
“Ayo, kita bermain, Rin!”ajak anak berambut pendek itu penuh harap.
“Bermain apa, Dina?”ucap Arini senang.
“Main boneka baru ya, Rin?”
“Bolehlah…….,”jawab Arini datar.
Dina, gadis kecil hampir sebaya Arini tadi, selanjutnya berlalu untuk
mengambil boneka barunya. Boneka panda yang tadi siang dibelikan Pak Arif di
Pasar Tanah Abang.
Sementara itu, Bu Maya telah mengemukakan maksud hatinya kepada Pak Arif
maupun Bu Tari.
“Maaf, Mas Arif dan Mbak
Tari,”ucap Bu Maya seraya memandangi keduanya.
“Ada apa, Mbak? Tampaknya Mbak
Maya ragu-ragu sekali mau bicara?”tanya Pak Arif.
Sebelum menjawab, Bu Maya tersenyum. Wajahnya sedikit tersipu. Meski
demikian ia berkata juga.
“Begini, Mas Arif,”kata Bu Maya. “Hari Minggu lusa, genap setahun sudah
saya tinggal serumah dengan Mas maupun Mbak Tari,”sambungnya. “Untuk
itu,”lanjut Bu Maya. “Bila diperkenankan, saya ingin belajar hidup menyewa
kamar sendiri, Mas dan Mbak.”
“Bagaimana, Mas?”sembari berpaling ke arah suaminya, Bu Tari melemparkan
pertanyaan Bu Maya tadi.
“Maksud Mbak Maya ingin mencoba hidup mandiri, begitu?”
“Benar, Mas Arif,”sahut Bu Maya cepat. “Maksud saya,”lanjutnya. “Agar
saya dan anak saya tidak terus-terusan merepotkan Mas Arif dan Mbak Tari.”
“Oho…! Masalah itu tidak usah terlalu Mbak Maya pikirkan!”tangkis Pak
Arif mantap. “Yang perlu Mbak Maya pikirkan sekarang,”tambah Pak Arif
selanjutnya. “Apakah bayaran Mbak nantinya cukup untuk menyewa kamar dan
membeli segala keperluan sehari-hari?”
Bu Maya tidak segera menjawab. Tampaknya ia berpikir-pikir sejenak. Lalu
sambil memandangi kedua majikannya, berkatalah Bu Maya.
“Saya rasa lebih dari cukup, Mas. Kalau nanti ternyata banyak menemukan
kesulitan, saya akan kembali ke sini lagi.”
Mendengar alasan Bu Maya tadi, Pak Arif maupun istrinya tidak segera
memberikan tanggapan. Keduanya terdiam. Namun tak berapa lama dari itu, mereka
pun akhirnya meluluskan kehendak Bu Maya. Bukankah niat Bu Maya merupakan hal
yang amat baik, karena tidak ingin terus menggantungkan diri kepada orang lain?
Pada hari yang telah ditentukan, Bu Maya jadi pindah rumah. Kepindahan
ibu muda itu diantarkan oleh Pak Arif dan Bu Tari. Tak ketinggalan, semua gadis
karyawan Pak Arif pun turut mengantarkan Bu Maya pula.
Ternyata rumah yang disewa Bu Maya terletak tidak begitu jauh dari rumah
Pak Arif. Jaraknya kira-kira sepuluh rumah ke arah selatan. Oleh sebab itu,
acara mengantar Bu Maya pindah rumah tadi cukup ditempuh dengan berjalan kaki.
Tidak perlu menyewa colt ataupun mikrolet.
“Sudah ya, Mbak. Saya pulang dulu. Mudah-mudahan Mbak betah tinggal di
rumah ini,”demikian kata Bu Tari ketika berpamitan diri dari Bu Maya. Ibu muda
tadi menyalami Bu Maya sembari menahan air mata haru. Demikian pula yang
dilakukan oleh anak buah Bu Tari. Di antara mereka ada yang menangis sambil
memeluk erat pundak Bu Maya.
“Mbak, maafkan saya ya, Mbak! Saya pulang dulu,”pamit gadis hitam manis
yang merangkul pundak Bu Maya tadi. “Mudah-mudahan Mbak Maya betah selalu di
rumah ini dan bisa menemukan kehidupan baru di sini,”gadis hitam manis tadi
melepas rangkulannya.
“Betul, Mbak Maya!”sahut gadis yang lain. “Mudah-mudahan Mbak Maya dapat
menemukan kebahagiaan di sini!”
“Terima kasih….,”sahut Bu Maya seraya tersenyum senang. “Semoga apa yang
rekan-rekan harapkan akan terwujud nyata bagi saya,”demikian kata yang terucap
dari mulut Bu Maya dengan tulus.
Selang tak lebih dari lima menit kemudian, maka pulanglah semua pengantar
Bu Maya. Termasuk Pak Arif dan Bu Tari, majikannya.
Setiba di rumah Pak Arif,
gadis-gadis tadi mulai menyentuh kesibukannya masing-masing. Ada yang memotong kain, ada yang menjahit
baju, ada yang merenda kerudung panjang,
dan ada pula yang menjahit rok dewasa. Mereka bekerja penuh semangat
lagi tekun, seperti tak mengenal lelah.
----=(Bersambung)=-----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan masukkan komentar Anda dengan sopan dan tidak berbau SARA.