SELAMAT DATANG DI BLOG GURU BELAJAR MENGARANG

Kamis, 01 November 2012

A Y A H (Bagian VIII)


 Oleh Sardono Syaarief

8.Tragedi di Pagi Hari

“Rin! Arini….. Bangun, Rin…! Bedug Subuh sudah tiba,”terdengar Bu Maya menggugah tidur Arini.  “Hai, bangun…!  Katanya mau ikut Ibu?”kali ini tubuh Arini digoyang-goyangnya beberapa kali.  Sehingga membuat Arini terusik dan pelan-pelan kedua matanya terbuka.
“Eeeehhhh…………!”Arini menggeliat.  Dengan pandangan matanya yang tampak masih menyipit, anak itu melirik ibunya.
“Ayo, bangun! Mau ikut Ibu tidak?”usik ibunya lagi. Ibu muda tadi berdiri di pinggir dipan. Lurus-lurus matanya memandangi Arini.
“Ikut ke mana, Bu?”seperti lupa pada yang dijanjikan ibunya kemarin sore, Arini bertanya.
“Ke pasar. Kau mau ikut Ibu, tidak?”

Arini tidak segera menjawab. Bahkan ia bertanya,”Mau beli seragam sekolah untuk Arini ya, Bu?”
“Ya. Kau mau ikut Ibu tidak, Rin?”tanya  Bu Maya sekali lagi. “Kalau tidak, ya sudah.   Ibu  akan pergi  sendiri.”
“Ya ikut dong, Bu…!”jawab Arini manja. “Kalau tidak, rugi nanti Arini.”
“Apa yang kau rugikan, Rin?”
“Rugi tak dibelikan bakso balungan. Juga rugi tidak bisa melihat keramaian orang di pasar, Bu.”
“Kalau begitu, ya lekas bangun! Dan mandilah cepat!”perintah Bu Maya seraya menarik selimut dari tubuh anaknya.
Dari tempat tidurnya, Arini cepat-cepat melompat. Setelah selimut dan tempat tidurnya ia rapikan, dengan  segera   anak itu menyambar handuk di penjemuran. Kemudian berlalulah anak itu ke kamar mandi.
Selesai mandi dan salat Subuh, Arini menghampiri ibunya di kamar.
“Arini jadi mau dimasukkan sekolah ya, Bu?”anak itu membuka percakapan.
Sambil mencarikan pakaian sebagai ganti Arini, Bu Maya menjawab.
“Ibu rasa kau sudah besar, Rin. Sudah waktunya untuk menuntut ilmu di bangku sekolah. Sudah kurang baik kalau terus bermain  yang tak ada gunanya. Oleh sebab itu, nanti kau akan Ibu belikan seragam baru untuk sekolah.”
“Baju putih dan rok merah bukan, Bu?”
Ibunya mengangguk, meyakinkan.
“Bahkan setelan pramuka juga, Rin,”tambah Bu Maya mantap.
Mendengar itu, hati Arini amat gembira.  Karena seminggu lagi dirinya bakal jadi anak sekolah.  Bukankah dengan bersekolah, berarti ia akan bertambah banyak teman? Di samping itu, bukankah ia nantinya akan dapat pandai membaca, menulis, dan berhitung juga?
Sekarang pagi pun tiba. Setelah sarapan, Bu Maya mengajak Arini untuk segera berangkat ke pasar.
“Ayo, siap-siap, Rin!”
“Mari, Bu!”Arini setuju.
Maka, ibu dan anak itu pun keluar dari rumahnya. Dengan menggandeng lengan kiri ibunya, berjalanlah Arini menyusuri gang. Setiba di jalan raya, terdengar oleh mereka suara lonceng delman, “Kloneng, kloneng, kloneng…….!”
“Plak, plak, plak, plak, plak,…..!”suara sepatu kuda makin terdengar mendekat mereka.
“Stop, Pak!”pinta Bu Maya sembari melambaikan tangan ke arah delman.
Delman pun berhenti.
“Mari, silakan naik, Bu!  Hati-hati!”dengan ramah Pak Kusir yang belum begitu tua itu mempersilakan Bu Maya.
Bu Maya dan Arini bergantian naik tangga delman bagian belakang. Setelah keduanya duduk di jok belakang yang masih kosong, Pak Kusir kembali memberikan aba-aba lari kudanya.
“Hiaaaaakkk…!  Ccccctttttt……..! Heeeerrrr….!”seru Pak Kusir seraya mencambukkan ujung pecutnya ke punggung kuda lirih-lirih.
Kuda kaget. Pelan-pelan ia mulai bergerak. Lambat laun lari kuda  pun bertambah cepat.
“Plak,plak,plak,plak…!”kembali terdengar sepatu kuda menghantam aspal jalanan. Bunyinya seirama dengan gerak tubuh kuda yang melonjak-lonjak lari menarik delman ke arah timur.
Rupanya meskipun di Jakarta, yang namanya delman masih ada juga. Terutama di seputar Pasar Raya Palmerah. Kendaraan roda dua yang larinya ditarik oleh seekor kuda itu nasibnya masih lebih baik daripada becak. Bukankah di Jakarta becak-becak telah dilarang keras adanya? Bukankah kendaraan beroda tiga tersebut telah dibersihkan dari kota metropolitan Jakarta? Akankah hal itu  menimpa juga pada delman untuk beberapa saat yang akan datang?
“Kiri, Pak!”pinta Bu Maya manakala tiba di keramaian pasar Palmerah.
“Turun di sini, Bu?”tanya Pak Kusir sambil menoleh ke arah Bu Maya.
“Iya, Pak,”sahut Bu Maya lembut.
Pak Kusir segera memperlambat lari kudanya. Tidak lama kemudian, delman pun berhenti.
Sambil mengulurkan ongkosnya kepada Pak Kusir, Bu Maya berkata,”Terima kasih ya, Pak.”
“Terima kasih kembali, Bu,”jawab Pak Kusir sembari tersenyum. Lelaki berkumis tebal itu mengantongi sejumlah uang dari Bu Maya dengan lega hati.
Sesaat dari itu, delman berlalu meneruskan perjalanan. Sementara Bu Maya menggandeng lengan Arini untuk menyeberang jalan. Dari tempat mereka berdiri, mata Arini telah dapat menangkap keramaian di sekitar Pasar Raya Palmerah.  Ia merasa kagum sekali menyaksikan ramainya pasar di pagi itu. Banyak lalu-lalang orang di sana-sini. Dari lantai bawah sampai lantai teratas, orang-orang sibuk menjajakan barang dagangannya.
“Mari menyeberang, Bu!”ajak Arini tak sabar.
“Sebentar,”sahut ibunya sembari berpaling ke kanan kiri  jalan.
Setelah dirasa keadaan jalan cukup senggang, maka menyeberanglah ibu dan anak tadi dengan hati-hati. Tetapi belum sampai keduanya tiba di seberang jalan yang mereka tuju, tiba-tiba,”Braaaaaaaaaaannnnnnggggggg……!”sebuah mikrolet orange menghantam tubuh Bu Maya dengan kecepatan tinggi.
Ibu muda tadi meninggal seketika itu juga. Sedangkan Arini terpental jauh ke seberang. Tubuh anak itu banyak yang luka. Pada bagian kaki dan tangannya mengucurkan darah segar. Beruntung jiwa anak itu selamat.  Bahkan sebelum Arini jatuh pingsan, anak itu masih sempat menyaksikan tubuh ibunya yang terbujur remuk di tengah jalan.
Melihat kejadian itu, Arini menjerit histeris,”Ibu….! Jangan tinggalkan Arini, Bu….! Ibuuuu…..! Ibuuuuuuuuuu……..! Ibuuuuuuuuuuuuuuuuuu……………..!”
Hingga pada akhirnya Arini lunglai tak berdaya. Anak itu tak sadarkan diri di tengah banyak orang yang sibuk menolong musibah yang mengundang hujan air mata.

(Bersambung)----------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan masukkan komentar Anda dengan sopan dan tidak berbau SARA.