Oleh Sardono Syaarief
8.Tragedi di Pagi Hari
“Rin! Arini….. Bangun, Rin…! Bedug Subuh sudah tiba,”terdengar Bu Maya
menggugah tidur Arini. “Hai,
bangun…! Katanya mau ikut Ibu?”kali ini
tubuh Arini digoyang-goyangnya beberapa kali.
Sehingga membuat Arini terusik dan pelan-pelan kedua matanya terbuka.
“Eeeehhhh…………!”Arini menggeliat.
Dengan pandangan matanya yang tampak masih menyipit, anak itu melirik
ibunya.
“Ayo, bangun! Mau ikut Ibu tidak?”usik ibunya lagi. Ibu muda tadi berdiri
di pinggir dipan. Lurus-lurus matanya memandangi Arini.
“Ikut ke mana, Bu?”seperti lupa pada yang dijanjikan ibunya kemarin sore,
Arini bertanya.
“Ke pasar. Kau mau ikut Ibu, tidak?”
Arini tidak segera menjawab. Bahkan ia bertanya,”Mau beli seragam sekolah
untuk Arini ya, Bu?”
“Ya. Kau mau ikut Ibu tidak, Rin?”tanya
Bu Maya sekali lagi. “Kalau tidak, ya sudah. Ibu
akan pergi sendiri.”
“Ya ikut dong, Bu…!”jawab Arini manja. “Kalau tidak, rugi nanti Arini.”
“Apa yang kau rugikan, Rin?”
“Rugi tak dibelikan bakso balungan. Juga rugi tidak bisa melihat
keramaian orang di pasar, Bu.”
“Kalau begitu, ya lekas bangun! Dan mandilah cepat!”perintah Bu Maya
seraya menarik selimut dari tubuh anaknya.
Dari tempat tidurnya, Arini cepat-cepat melompat. Setelah selimut dan
tempat tidurnya ia rapikan, dengan
segera anak itu menyambar handuk
di penjemuran. Kemudian berlalulah anak itu ke kamar mandi.
Selesai mandi dan salat Subuh, Arini menghampiri ibunya di kamar.
“Arini jadi mau dimasukkan sekolah ya, Bu?”anak itu membuka percakapan.
Sambil mencarikan pakaian sebagai ganti Arini, Bu Maya menjawab.
“Ibu rasa kau sudah besar, Rin. Sudah waktunya untuk menuntut ilmu di
bangku sekolah. Sudah kurang baik kalau terus bermain yang tak ada gunanya. Oleh sebab itu, nanti
kau akan Ibu belikan seragam baru untuk sekolah.”
“Baju putih dan rok merah bukan, Bu?”
Ibunya mengangguk, meyakinkan.
“Bahkan setelan pramuka juga, Rin,”tambah Bu Maya mantap.
Mendengar itu, hati Arini amat gembira.
Karena seminggu lagi dirinya bakal jadi anak sekolah. Bukankah dengan bersekolah, berarti ia akan
bertambah banyak teman? Di samping itu, bukankah ia nantinya akan dapat pandai
membaca, menulis, dan berhitung juga?
Sekarang pagi pun tiba. Setelah sarapan, Bu Maya mengajak Arini untuk
segera berangkat ke pasar.
“Ayo, siap-siap, Rin!”
“Mari, Bu!”Arini setuju.
Maka, ibu dan anak itu pun keluar dari rumahnya. Dengan menggandeng
lengan kiri ibunya, berjalanlah Arini menyusuri gang. Setiba di jalan raya,
terdengar oleh mereka suara lonceng delman, “Kloneng, kloneng, kloneng…….!”
“Plak, plak, plak, plak, plak,…..!”suara sepatu kuda makin terdengar
mendekat mereka.
“Stop, Pak!”pinta Bu Maya sembari melambaikan tangan ke arah delman.
Delman pun berhenti.
“Mari, silakan naik, Bu!
Hati-hati!”dengan ramah Pak Kusir yang belum begitu tua itu
mempersilakan Bu Maya.
Bu Maya dan Arini bergantian naik tangga delman bagian belakang. Setelah
keduanya duduk di jok belakang yang masih kosong, Pak Kusir kembali memberikan
aba-aba lari kudanya.
“Hiaaaaakkk…! Ccccctttttt……..!
Heeeerrrr….!”seru Pak Kusir seraya mencambukkan ujung pecutnya ke punggung kuda
lirih-lirih.
Kuda kaget. Pelan-pelan ia mulai bergerak. Lambat laun lari kuda pun bertambah cepat.
“Plak,plak,plak,plak…!”kembali terdengar sepatu kuda menghantam aspal
jalanan. Bunyinya seirama dengan gerak tubuh kuda yang melonjak-lonjak lari
menarik delman ke arah timur.
Rupanya meskipun di Jakarta, yang namanya delman masih ada juga. Terutama
di seputar Pasar Raya Palmerah. Kendaraan roda dua yang larinya ditarik oleh
seekor kuda itu nasibnya masih lebih baik daripada becak. Bukankah di Jakarta
becak-becak telah dilarang keras adanya? Bukankah kendaraan beroda tiga
tersebut telah dibersihkan dari kota metropolitan Jakarta? Akankah hal itu menimpa juga pada delman untuk beberapa saat
yang akan datang?
“Kiri, Pak!”pinta Bu Maya manakala tiba di keramaian pasar Palmerah.
“Turun di sini, Bu?”tanya Pak Kusir sambil menoleh ke arah Bu Maya.
“Iya, Pak,”sahut Bu Maya lembut.
Pak Kusir segera memperlambat lari kudanya. Tidak lama kemudian, delman
pun berhenti.
Sambil mengulurkan ongkosnya kepada Pak Kusir, Bu Maya berkata,”Terima
kasih ya, Pak.”
“Terima kasih kembali, Bu,”jawab Pak Kusir sembari tersenyum. Lelaki
berkumis tebal itu mengantongi sejumlah uang dari Bu Maya dengan lega hati.
Sesaat dari itu, delman berlalu meneruskan perjalanan. Sementara Bu Maya
menggandeng lengan Arini untuk menyeberang jalan. Dari tempat mereka berdiri,
mata Arini telah dapat menangkap keramaian di sekitar Pasar Raya Palmerah. Ia merasa kagum sekali menyaksikan ramainya
pasar di pagi itu. Banyak lalu-lalang orang di sana-sini. Dari lantai bawah
sampai lantai teratas, orang-orang sibuk menjajakan barang dagangannya.
“Mari menyeberang, Bu!”ajak Arini tak sabar.
“Sebentar,”sahut ibunya sembari berpaling ke kanan kiri jalan.
Setelah dirasa keadaan jalan cukup senggang, maka menyeberanglah ibu dan
anak tadi dengan hati-hati. Tetapi belum sampai keduanya tiba di seberang jalan
yang mereka tuju, tiba-tiba,”Braaaaaaaaaaannnnnnggggggg……!”sebuah mikrolet
orange menghantam tubuh Bu Maya dengan kecepatan tinggi.
Ibu muda tadi meninggal seketika itu juga. Sedangkan Arini terpental jauh
ke seberang. Tubuh anak itu banyak yang luka. Pada bagian kaki dan tangannya
mengucurkan darah segar. Beruntung jiwa anak itu selamat. Bahkan sebelum Arini jatuh pingsan, anak itu
masih sempat menyaksikan tubuh ibunya yang terbujur remuk di tengah jalan.
Melihat kejadian itu, Arini menjerit histeris,”Ibu….! Jangan tinggalkan
Arini, Bu….! Ibuuuu…..! Ibuuuuuuuuuu……..! Ibuuuuuuuuuuuuuuuuuu……………..!”
Hingga pada akhirnya Arini lunglai tak berdaya. Anak itu tak sadarkan
diri di tengah banyak orang yang sibuk menolong musibah yang mengundang hujan
air mata.
(Bersambung)----------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan masukkan komentar Anda dengan sopan dan tidak berbau SARA.