SELAMAT DATANG DI BLOG GURU BELAJAR MENGARANG

Kamis, 25 Oktober 2012

A Y A H (Bagian VII)


Oleh Sardono Syarief 

7.       Surat untuk Ayah


Sebulan telah berlalu. Selama itu tampaknya Bu Maya telah dapat hidup tenang lagi senang di kamar kontrakannya yang baru. Untuk menyewa kamar dan membeli keperluan yang lain, Bu Maya dapat membayarnya dengan baik. Bahkan hal ini telah dikabarkan pula kepada Pak Arjuna, suaminya yang kini masih berada di kamar tahanan.  Dalam suratnya yang dikirimkan enam hari yang lalu itu, Bu Maya menulis demikian:

Mas Arjuna suamiku yang tecinta di tempat,
Apa kabar, Mas? Aku berharap, di kamar tahanan ini  Mas senantiasa dalam keadaan sehat, sebagaimana aku dan Arini, anakmu  di Palmerah-Jakarta selama ini.
Mas, berkat bimbingan Allah, sekarang aku dapat hidup mandiri yang cukup  menyenangkan. Hal ini tentu bila dibandingkan dengan ketika aku masih berada di Pulogadung dulu.  Lebih tepatnya ketika  aku ditinggalkan sendirian oleh Mas di penjara ini. Saar itu hidupku   amat susah. Cari nafkah sendiri untuk dapat menopang hidupku dan Arini, anakmu benar-benar amat sengsara, Mas.
Mas, andai saja Mas Arjuna telah berada di tengah-tengah kami, tentu Mas  akan  senang sekali bila menyaksikan kemanjaan Arini, anak kami satu-satunya itu. Dulu ketika  aku berkirim surat kepadamu,  ia masih kecil, Mas.  Sekarang anak   itu telah cukup besar. 
Arini, anak kami yang berhidung mancung dan bertahi lalat di pipi kanan ini, sekarang telah berumur tujuh tahun, Mas. Kalau tak ada aral yang melintang, setengah bulan lagi ia akan kumasukkan ke Sekolah Dasar. Akan aku daftarkan sebagai murid kelas satu.
 Mas, andai Mas Arjuna tahu, hampir setiap hari Arini selalu menanyakan siapa sebenarnya ayahnya? Seperti apakah diri ayahnya?  Arini ingin sekali mengenali ayahnya. Ia  sudah ingin sekali  bertemu denganmu, Mas!
Maka, bilamana Mas Arjuna telah dibebaskan dari kamar yang pengap nanti, segera kembalilah ke kamar kontrakanku yang baru ini, Mas! Alamat rumahnya sebagaimana yang tertera pada amplop surat ini. Aku dan Arini, anakmu akan senantiasa menunggumu.
Mas Arjuna, kiranya sampai di sini dulu kabar yang dapat kutulis. Semoga hati Mas Arjuna senantiasa tabah dan bertambah iman.
Dari istri setiamu,

Maya

Surat tadi dibaca Pak Arjuna berulangkali dengan hati senang lagi  damai. Lalaki tiga puluh lima tahunan itu tersenyum-senyum sendiri di dalam kamar tahanan. Pikirannya gembira. Terbayang oleh bapak muda itu bahwa ternyata sekarang dirinya telah punya seorang anak gadis kecil yang lincah lagi periang. Betapa Arini akan bertambah senang, jika dirinya telah berada di sisi anak itu?
“Aahhh……..!”desah Pak Arjuna panjang. Dilipatnya  surat yang ada di tangannya itu rapi-rapi. Kemudian dimasukkannya ke dalam saku baju.  “Kapankah kiranya aku akan bisa bersanding dengan istri dan anakku?”gumam Pak Arjuna sendirian. “Kapankah kiranya aku akan dapat menatap anak gadisku yang bernama Arini itu? Aahhhh…….!”Pak Arjuna manarik nafasnya dalam-dalam. Disandarkannya tubuhnya yang kurus pada dinding tembok dalam kamar tahanan.
“Ya Allah, bebaskanlah aku dari kamar tahanan ini!”doa bapak muda yang berambut ikal itu seraya menengadahkan kedua tangannya ke langit-langit kamar.
Sementara, sore  pun tiba. Setelah disimpannya surat yang diterima dari istrinya, Pak Arjuna kemudian memenuhi kegiatan yang diadakan oleh Lembaga Pemasyarakatan (LP) tempat dia ditahan. Kegiatan sore itu antara lain; kebersihan lingkungan, mengisi bak mandi, bermain volley ball, dan lain sebagainya.
Pak Arjuna ikut bermain bola volley, setelah dia selesai menyapu sekeliling halaman bagian dalam dari rumah penjara tersebut.
Dalam pada itu, di kamar kontrakannya, Bu Maya memanggil Arini, anaknya.
“Arini….! Ar….!”
“Saya, Bu…!”sahut Arini cepat-cepat seraya menghampiri ibunya di dalam kamar.
“Sedang apa kau, Nak?”tanya Bu Maya lembut.
“Main-main, Bu,”jawab Arini yang sore itu memang sedang asyik bermain bola kecil di teras rumah Mbak Novia, temannya. “Ibu sudah pulang dari bekerja, Bu?”tanya gadis kecil itu sebelum berlalu dari ibunya lagi.
“Sudah, Rin. Karena bahan yang harus Ibu jahit sudah habis sejak siang tadi,”jawab Bu Maya seperti menerangkan.
“Besok Ibu berangkat kerja?”
“Tidak,”jawab ibunya. “Lebih-lebih besok hari Minggu,”tambahnya. “Ibu dan teman-teman mengambil libur sehari, Rin.”
“Oh, begitu, Bu?”ujar Arini sambil mengangguk, paham.
“Iya,”sahut Bu Maya singkat. “Besok kau mau ikut Ibu tidak?”
“Ke mana, Bu?”Arini ingin tahu.
“Ke pasar.”
“Mau mborong belanjaan ya, Bu?”selidik Arini gembira.
Bu Maya tidak menyahut. Namun demikian ia tersenyum juga.
“Mborong sih tidak, Rin,”kata ibu muda yang masih cantik itu. “Cuma mau membelikan seragam untuk sekolahmu saja,”sambungnya memberi tahu.
“Maksud Ibu, Arini jadi akan Ibu masukkan ke SD begitu?”tanya anak itu senang.
Bu Maya mengangguk. Mengiyakan.
“Kapankah Arini mau Ibu daftarkan?”Arini tampak tak sabar.
“Seminggu lagi, Rin. Tepatnya pada tahun pelajaran baru  nanti.”
“Apakah kira-kira Arini sudah dapat diterima sebagai murid baru, Bu?”
“Tentu saja sudah, Rin. Sudah waktunya bagimu untuk memenuhi panggilan wajib belajar  di Sekolah Dasar.”
Arini senang. Bibir mungilnya tersenyum lebar. Kedua matanya memandangi ibunya dalam-dalam.
“Kalau begitu, Arini ikut Ibu ke pasar, ah…..!”ujar Arini gembira seraya keluar dari kamar.
“Eeee…! Mau ke mana lagi kamu, Nak?”cegah ibunya menahan langkah Arini.
“Bermain ke rumah Mbak Novia lagi, Bu.”
“Hush, mandi dulu! Lihat, hari sudah sore!”Bu Maya mengingatkan.
Arini menoleh ke langit barat lewat pintu jendela kamar.
“Baik, Bu,”ucap Arini tak berapa lama dari itu.
Arini menurut perintah ibunya. Anak itu   segera menyambar handuk di pesampiran. Kemudian pergilah ia ke kamar mandi. Sesaat dari itu, terdengarlah senandungnya bercampur dengan gemericik air yang diguyurkan ke sekujur badan.
(Bersambung)------------


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan masukkan komentar Anda dengan sopan dan tidak berbau SARA.