Oleh Sardono Syarief
7. Surat untuk Ayah
Sebulan telah berlalu. Selama itu tampaknya Bu Maya telah dapat hidup
tenang lagi senang di kamar kontrakannya yang baru. Untuk menyewa kamar dan
membeli keperluan yang lain, Bu Maya dapat membayarnya dengan baik. Bahkan hal
ini telah dikabarkan pula kepada Pak Arjuna, suaminya yang kini masih berada di
kamar tahanan. Dalam suratnya yang
dikirimkan enam hari yang lalu itu, Bu Maya menulis demikian:
Mas Arjuna suamiku yang tecinta di
tempat,
Apa kabar, Mas? Aku berharap, di
kamar tahanan ini Mas senantiasa dalam
keadaan sehat, sebagaimana aku dan Arini, anakmu di Palmerah-Jakarta selama ini.
Mas, berkat bimbingan Allah,
sekarang aku dapat hidup mandiri yang cukup menyenangkan. Hal ini tentu bila dibandingkan
dengan ketika aku masih berada di Pulogadung dulu. Lebih tepatnya ketika aku ditinggalkan sendirian oleh Mas di penjara
ini. Saar itu hidupku amat susah. Cari nafkah sendiri untuk dapat
menopang hidupku dan Arini, anakmu benar-benar amat sengsara, Mas.
Mas, andai saja Mas Arjuna telah
berada di tengah-tengah kami, tentu Mas
akan senang sekali bila
menyaksikan kemanjaan Arini, anak kami satu-satunya itu. Dulu ketika aku berkirim surat kepadamu, ia masih kecil, Mas. Sekarang anak itu telah cukup besar.
Arini, anak kami yang berhidung
mancung dan bertahi lalat di pipi kanan ini, sekarang telah berumur tujuh
tahun, Mas. Kalau tak ada aral yang melintang, setengah bulan lagi ia akan
kumasukkan ke Sekolah Dasar. Akan aku daftarkan sebagai murid kelas satu.
Mas, andai Mas Arjuna tahu, hampir setiap hari
Arini selalu menanyakan siapa sebenarnya ayahnya? Seperti apakah diri
ayahnya? Arini ingin sekali mengenali
ayahnya. Ia sudah ingin sekali bertemu denganmu, Mas!
Maka, bilamana Mas Arjuna telah
dibebaskan dari kamar yang pengap nanti, segera kembalilah ke kamar kontrakanku
yang baru ini, Mas! Alamat rumahnya sebagaimana yang tertera pada amplop surat
ini. Aku dan Arini, anakmu akan senantiasa menunggumu.
Mas Arjuna, kiranya sampai di sini
dulu kabar yang dapat kutulis. Semoga hati Mas Arjuna senantiasa tabah dan
bertambah iman.
Dari istri setiamu,
Maya
Surat
tadi dibaca Pak Arjuna berulangkali dengan hati senang lagi damai. Lalaki tiga puluh lima tahunan itu
tersenyum-senyum sendiri di dalam kamar tahanan. Pikirannya gembira. Terbayang
oleh bapak muda itu bahwa ternyata sekarang dirinya telah punya seorang anak
gadis kecil yang lincah lagi periang. Betapa Arini akan bertambah senang, jika
dirinya telah berada di sisi anak itu?
“Aahhh……..!”desah Pak Arjuna panjang. Dilipatnya surat yang ada di tangannya itu rapi-rapi.
Kemudian dimasukkannya ke dalam saku baju.
“Kapankah kiranya aku akan bisa bersanding dengan istri dan
anakku?”gumam Pak Arjuna sendirian. “Kapankah kiranya aku akan dapat menatap
anak gadisku yang bernama Arini itu? Aahhhh…….!”Pak Arjuna manarik nafasnya
dalam-dalam. Disandarkannya tubuhnya yang kurus pada dinding tembok dalam kamar
tahanan.
“Ya Allah, bebaskanlah aku dari kamar tahanan ini!”doa bapak muda yang
berambut ikal itu seraya menengadahkan kedua tangannya ke langit-langit kamar.
Sementara, sore pun tiba. Setelah
disimpannya surat yang diterima dari istrinya, Pak Arjuna kemudian memenuhi
kegiatan yang diadakan oleh Lembaga Pemasyarakatan (LP) tempat dia ditahan.
Kegiatan sore itu antara lain; kebersihan lingkungan, mengisi bak mandi,
bermain volley ball, dan lain sebagainya.
Pak Arjuna ikut bermain bola volley, setelah dia selesai menyapu
sekeliling halaman bagian dalam dari rumah penjara tersebut.
Dalam pada itu, di kamar kontrakannya, Bu Maya memanggil Arini, anaknya.
“Arini….! Ar….!”
“Saya, Bu…!”sahut Arini cepat-cepat seraya menghampiri ibunya di dalam
kamar.
“Sedang apa kau, Nak?”tanya Bu Maya lembut.
“Main-main, Bu,”jawab Arini yang sore itu memang sedang asyik bermain
bola kecil di teras rumah Mbak Novia, temannya. “Ibu sudah pulang dari bekerja,
Bu?”tanya gadis kecil itu sebelum berlalu dari ibunya lagi.
“Sudah, Rin. Karena bahan yang harus Ibu jahit sudah habis sejak siang
tadi,”jawab Bu Maya seperti menerangkan.
“Besok Ibu berangkat kerja?”
“Tidak,”jawab ibunya. “Lebih-lebih besok hari Minggu,”tambahnya. “Ibu dan
teman-teman mengambil libur sehari, Rin.”
“Oh, begitu, Bu?”ujar Arini sambil mengangguk, paham.
“Iya,”sahut Bu Maya singkat. “Besok kau mau ikut Ibu tidak?”
“Ke mana, Bu?”Arini ingin tahu.
“Ke pasar.”
“Mau mborong belanjaan ya, Bu?”selidik Arini gembira.
Bu Maya tidak menyahut. Namun demikian ia tersenyum juga.
“Mborong sih tidak, Rin,”kata ibu muda yang masih cantik itu. “Cuma mau
membelikan seragam untuk sekolahmu saja,”sambungnya memberi tahu.
“Maksud Ibu, Arini jadi akan Ibu masukkan ke SD begitu?”tanya anak itu
senang.
Bu Maya mengangguk. Mengiyakan.
“Kapankah Arini mau Ibu daftarkan?”Arini tampak tak sabar.
“Seminggu lagi, Rin. Tepatnya pada tahun pelajaran baru nanti.”
“Apakah kira-kira Arini sudah dapat diterima sebagai murid baru, Bu?”
“Tentu saja sudah, Rin. Sudah waktunya bagimu untuk memenuhi panggilan
wajib belajar di Sekolah Dasar.”
Arini senang. Bibir mungilnya tersenyum lebar. Kedua matanya memandangi
ibunya dalam-dalam.
“Kalau begitu, Arini ikut Ibu ke pasar, ah…..!”ujar Arini gembira seraya
keluar dari kamar.
“Eeee…! Mau ke mana lagi kamu, Nak?”cegah ibunya menahan langkah Arini.
“Bermain ke rumah Mbak Novia lagi, Bu.”
“Hush, mandi dulu! Lihat, hari sudah sore!”Bu Maya mengingatkan.
Arini menoleh ke langit barat lewat pintu jendela kamar.
“Baik, Bu,”ucap Arini tak berapa lama dari itu.
Arini menurut perintah ibunya. Anak itu
segera menyambar handuk di pesampiran. Kemudian pergilah ia ke kamar
mandi. Sesaat dari itu, terdengarlah senandungnya bercampur dengan gemericik
air yang diguyurkan ke sekujur badan.
(Bersambung)------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan masukkan komentar Anda dengan sopan dan tidak berbau SARA.