SELAMAT DATANG DI BLOG GURU BELAJAR MENGARANG

Kamis, 27 September 2012

A Y A H (Bagian VI)


Oleh  Sardono Syarief
 
 Sejak hidup serumah dengan keluarga Pak Arif, nasib Bu Maya berangsur membaik. Ia yang semula berbaju dua tiga setel, sekarang lebih dari sepuluh setel yang dimiliki. Ia yang semula tidak memiliki seuntai kalung, gelang, dan cicin emas, sekarang pun ia memiliki. Begitu pula dengan Arini, anaknya.
Gadis kecil yang semula sering murung, kini hilang sudah sikap murungnya. Anak itu  lincah, riang, murah senyum, ramah, sopan lagi penurut pada semua perintah dan nasihat orang tuanya kembali. Hidup mereka kini benar-benar telah berubah. Semua itu berkat pekerjaan yang diberikan Pak Arif. Betapa tidak senang, bila dalam sehari Bu Maya dapat mengantongi penghasilan bersih seratus ribu rupiah? Upah sebesar itu diperoleh dari gesitnya Bu Maya dalam menjahit sepuluh potong baju orang dewasa. Apa lagi Bu Maya orangnya mampu menyelesaikan jahitan lebih dari jumlah tadi. Tidakkah penghasilan Bu Maya akan bisa lebih dari seratus ribu rupiah dalam waktu sehari?

Itu pula sebabnya, ketika Pak Arif dan istrinya sedang duduk-duduk di ruang tengah, Bu Maya sengaja datang menyela.
“Selamat malam Mas Arif dan Mbak Tari,”sapa Bu Maya sopan.
“Selamat malam, Mbak Maya,”sahut Pak Arif begitu menoleh ke arah Bu Maya. “Ada perlu dengan kami, Mbak?”sambungnya.
“Ya, ada, Mas,”jawab Bu Maya seraya mengangguk.
“Kemari, Mbak!”panggil Bu Tari mempersilakan sahabatnya mendekat.
Bu Maya menurut. Dengan langkah hati-hati ibu muda itu mendekat majikannya yang malam itu sedang menyaksikan acara televisi bersama Dina, anak putrinya.
Ketika Dina melihat Arini datang bersama ibunya, dengan segera anak itu bangkit dari pangkuan Bu Tari.
“Ayo, kita bermain, Rin!”ajak anak berambut  pendek itu penuh harap.
“Bermain apa, Dina?”ucap Arini senang.
“Main boneka baru ya, Rin?”
“Bolehlah…….,”jawab Arini datar.
Dina, gadis kecil hampir sebaya Arini tadi, selanjutnya berlalu untuk mengambil boneka barunya. Boneka panda yang tadi siang dibelikan Pak Arif di Pasar Tanah Abang.
Sementara itu, Bu Maya telah mengemukakan maksud hatinya kepada Pak Arif maupun Bu Tari.
“Maaf,  Mas Arif dan Mbak Tari,”ucap Bu Maya seraya memandangi keduanya.
“Ada apa, Mbak?  Tampaknya Mbak Maya ragu-ragu sekali mau bicara?”tanya Pak Arif.
Sebelum menjawab, Bu Maya tersenyum. Wajahnya sedikit tersipu. Meski demikian ia berkata juga.
“Begini, Mas Arif,”kata Bu Maya. “Hari Minggu lusa, genap setahun sudah saya tinggal serumah dengan Mas maupun Mbak Tari,”sambungnya. “Untuk itu,”lanjut Bu Maya. “Bila diperkenankan, saya ingin belajar hidup menyewa kamar sendiri, Mas dan Mbak.”
“Bagaimana, Mas?”sembari berpaling ke arah suaminya, Bu Tari melemparkan pertanyaan Bu Maya tadi.
“Maksud Mbak Maya ingin mencoba hidup mandiri, begitu?”
“Benar, Mas Arif,”sahut Bu Maya cepat. “Maksud saya,”lanjutnya. “Agar saya dan anak saya tidak terus-terusan merepotkan Mas Arif dan Mbak Tari.”
“Oho…! Masalah itu tidak usah terlalu Mbak Maya pikirkan!”tangkis Pak Arif mantap. “Yang perlu Mbak Maya pikirkan sekarang,”tambah Pak Arif selanjutnya. “Apakah bayaran Mbak nantinya cukup untuk menyewa kamar dan membeli segala keperluan sehari-hari?”
Bu Maya tidak segera menjawab. Tampaknya ia berpikir-pikir sejenak. Lalu sambil memandangi kedua majikannya, berkatalah Bu Maya.
“Saya rasa lebih dari cukup, Mas. Kalau nanti ternyata banyak menemukan kesulitan, saya akan kembali ke sini lagi.”
Mendengar alasan Bu Maya tadi, Pak Arif maupun istrinya tidak segera memberikan tanggapan. Keduanya terdiam. Namun tak berapa lama dari itu, mereka pun akhirnya meluluskan kehendak Bu Maya. Bukankah niat Bu Maya merupakan hal yang amat baik, karena tidak ingin terus menggantungkan diri kepada orang lain?
Pada hari yang telah ditentukan, Bu Maya jadi pindah rumah. Kepindahan ibu muda itu diantarkan oleh Pak Arif dan Bu Tari. Tak ketinggalan, semua gadis karyawan Pak Arif pun turut mengantarkan Bu Maya pula.
Ternyata rumah yang disewa Bu Maya terletak tidak begitu jauh dari rumah Pak Arif. Jaraknya kira-kira sepuluh rumah ke arah selatan. Oleh sebab itu, acara mengantar Bu Maya pindah rumah tadi cukup ditempuh dengan berjalan kaki. Tidak perlu menyewa colt ataupun mikrolet.
“Sudah ya, Mbak. Saya pulang dulu. Mudah-mudahan Mbak betah tinggal di rumah ini,”demikian kata Bu Tari ketika berpamitan diri dari Bu Maya. Ibu muda tadi menyalami Bu Maya sembari menahan air mata haru. Demikian pula yang dilakukan oleh anak buah Bu Tari. Di antara mereka ada yang menangis sambil memeluk erat pundak Bu Maya.
“Mbak, maafkan saya ya, Mbak! Saya pulang dulu,”pamit gadis hitam manis yang merangkul pundak Bu Maya tadi. “Mudah-mudahan Mbak Maya betah selalu di rumah ini dan bisa menemukan kehidupan baru di sini,”gadis hitam manis tadi melepas rangkulannya.
“Betul, Mbak Maya!”sahut gadis yang lain. “Mudah-mudahan Mbak Maya dapat menemukan kebahagiaan di sini!”
“Terima kasih….,”sahut Bu Maya seraya tersenyum senang. “Semoga apa yang rekan-rekan harapkan akan terwujud nyata bagi saya,”demikian kata yang terucap dari mulut Bu Maya dengan tulus.
Selang tak lebih dari lima menit kemudian, maka pulanglah semua pengantar Bu Maya. Termasuk Pak Arif dan Bu Tari, majikannya.
Setiba di  rumah Pak Arif, gadis-gadis tadi mulai menyentuh kesibukannya masing-masing. Ada yang memotong kain, ada yang menjahit baju, ada yang merenda kerudung panjang,  dan ada pula yang menjahit rok dewasa. Mereka bekerja penuh semangat lagi tekun, seperti tak mengenal lelah.

----=(Bersambung)=-----




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan masukkan komentar Anda dengan sopan dan tidak berbau SARA.