5. Bertemu Sahabat Lama
Oleh Sardono Syarief
Sampai di Tanah Abang, dengan
segera Bu Maya turun dari dalam bus. Digandengnya Arini menyeberang jalan.
“Lewat Slipi, Pak?”tanya Bu Maya manakala mendekat mikrolet.
“Ke mana, Bu?”balas Pak Sopir.
“Palmerah, Pak.”
“Oh, ya? Mari, naik, Bu!”Pak Sopir
mempersilakan.
Bu Maya masuk ke dalam mikrolet. Dibimbingnya Arini masuk lebih dulu.
Seraya mencari penumpang lain, pelan-pelan mikrolet yang ditumpangi Bu Maya bergerak maju.
“Kebayoran Lama, Kebayoran Lama…!”Pak Sopir yang sudah separoh umur itu
menawarkan jasanya.
“Kiri, Pak!”pinta Bu Maya tiba-tiba.
‘Turun di sini, Bu?”tanya Pak Sopir seraya berpaling ke belakang, ke arah Bu Maya.
“Ya, Pak,”sahut Bu Maya lembut.
Pelan-pelan Pak Sopir menghentikan mobilnya.
“Terima kasih, Pak,”Bu Maya mengulurkan ongkosnya.
“Terima kasih kembali…..,”sahut Pak Sopir sembari tersenyum.
Lima detik kemudian, mobil itu pun bergerak maju lagi.
Bu Maya menggandeng lengan Arini memasuki sebuah gang. Gang itu tidak
jauh dari jalan raya. Tidak seberapa lama mereka menyusuri gang, tibalah
keduanya pada sebuah rumah yang megah lagi besar.
“Assalamualaikum…..!”seru Bu Maya dari depan pintu.
“Waalaikumsalam…….!”terdengar sahut seorang gadis dari dalam.
“Maaf, Mbak. Pak Arif ada?”sambil tersenyum, Bu Maya bertanya ketika
gadis itu membukakan pintu.
“Ada ,
Mbak. Mbak siapa dan dari mana?”jawab gadis cantik yang membukakan pintu tadi.
“Saya Maya, Mbak. Sahabat lama Bapak dan Ibu Arif dari Pekalongan,”jawab
Bu Maya menerangkan. Ada sedikit ragu di hatinya. “Benarkah ini rumah Mas Arif,
sahabatku? Apakah dia masih
mengenaliku?”kata Bu Maya dalam hati.
“Oh,ya? Mari, silakan masuk dulu,
Mbak Maya!”gadis cantik itu mengerti dan mempersilakan.
“Terima kasih, Mbak,”Bu Maya masuk.
Bu Maya dan Arini mengambil duduk di ruang tamu. Sementara, gadis cantik
itu masuk ke ruang tengah. Tak lama dari itu, muncullah kembali gadis manis
tadi. Di belakangnya mengikuti pula seorang lelaki yang dikenali betul oleh Bu
Maya. Siapa lagi lelaki bertubuh sedang itu kalau bukan Pak Arif, sahabat lama
di desanya dulu?
Begitu melihat Pak Arif melangkah mendekatinya, berserulah Bu Maya.
“Mas Arif……..!”
“Oh, Mbak Maya?”dengan senyum tersungging di bibir, lelaki berkumis tebal
itu menyahut. “Dengan siapa Mbak Maya
datang kemari? Dan di mana Mas Arjuna?”tanya Pak Arif seraya memandangi Bu Maya
tak berkedip-kedip.
“Saya datang dengan si kecil, anak saya ini, Mas.”
Pandangan Pak Arif beralih ke
arah Arini yang duduk di sebelah kiri ibunya. Lelaki sebaya Pak Arjuna tadi
mengangguk-angguk sembari tersenyum. “Siapa nama si cantik ini, Mbak?”tanya Pak
Arif ingin tahu.
“Arini, Mas,”jawab Bu Maya mengenalkan anaknya.
Kembali Pak Arif mengangguk-angguk.
“Sebuah nama yang cukup bagus!”puji Pak Arif kepada Arini.
Arini tersenyum, senang.
Sejauh itu, Bu Tari, istri Pak Arif, muncul ke ruang tamu.
“Oh, Mbak Maya….! Apa kabar, Mbak?”dengan ramah Bu Tari menyambut
tamunya.
Bu Maya tersenyum. Senang hatinya bisa bertemu dengan sahabat lama sewaktu di desa dulu.
“Kabar saya baik-baik saja, Mbak Tari,”jawab Bu Maya. “Hanya saja,
“tambahnya. “Mas Arjuna yang……..,”kalimat Bu Maya terputus.
“Yang bagaimana Mas Arjuna, Mbak?”sahut Bu Tari hampir bersamaan dengan
Pak Arif.
“Mas Arjuna dipenjara, Mbak,”jawab Bu Maya lemah.
“Aaa…? Mas Arjuna dipenjara?”kening Pak Arif seketika berkerut. Ia
terkejut dan tidak percaya, orang sebaik Pak Arjuna masuk penjara.
“Benar, Mas Arif. Suami saya dipenjara,”Bu Maya meyakinkan.
“Memangnya Mas Arjuna salah apa, Mbak?”sela Bu Tari ingin tahu.
Maka, diceritakanlah perihal Pak Arjuna oleh Bu Maya. Mulai dari saat
awal merantau di daerah Pulogadung, sampai pada ditahannya oleh Polisi di
Pekalongan.
“Untuk itulah saya datang kemari hanya ditemani anak saya saja, Mbak.
Niat saya mau mencari pekerjaan pada Mbak Tari dan Mas Arif.”
“Kiranya pekerjaan apa yang bisa kami berikan pada Mbak Maya?”ujar Pak Arif.
“Terserah Mas Arif dan Mbak Tari sajalah,”jawab Bu Maya pasrah. “Bukankah
Pak Arif menjadi Boss konveksi pakaian jadi?”
Pak Arif maupun istrinya saling pandang. Keduanya saling berbisik.
“Mbak Maya bisa menjahit, tidak?”tanya Pak Arif tidak lama dari itu.
“Sedikit-sedikit bisa, Mas,”jawab Bu Maya merendahkan diri. Padahal
sesungguhnya ibu muda itu cukup terampil
menjahit pakaian wanita. Bukankah sebelum Pak Arjuna ditahan polisi dulu,
di rumah kerja Bu Maya sebagai tukang jahit pakaian wanita?
“Kalau begitu, bagaimana jika Mbak Maya saya beri kerjaan menjahit?”
“Bisa saja, Mas. Terima kasih,”jawab Bu Maya gembira. Ternyata sahabat
lamanya masih mau menerimanya sebagai karyawan baru.
Hari-hari berikutnya Bu Maya bekerja sebagai tukang jahit di rumah Pak
Arif. Sebelum memperoleh bayaran dari
hasil kerjanya, Bu Maya diminta untuk mau tinggal serumah dengan keluarga Pak
Arif. Bu Tari yang mengusulkannya. Tentu
saja Bu Maya sangat gembira.
“Betul, Mbak. Mbak Maya tak usah segan-segan untuk tinggal bersama kami
di rumah ini,”demikian pinta istri Pak Arif. “Mbak Maya tak usah canggung
terhadap kami,”sambungnya.
“Terima kasih, Mbak Tari. Terima kasih Mas Arif. Kalian sangat baik.
Entah dengan cara apa kami bisa membalasnya,”kata Bu Maya apa adanya.
“Ah, sudahlah…! Jangan terlalu Mbak Maya pikirkan. Kami juga punya anak
sebesar Arini, kok. Kalau Arini mau tinggal di rumah ini, maka anak kami bakal
ada teman bermain,”ujar Pak Arif menguatkan permintaan istrinya.
“Terima kasih atas kebaikan Mas Arif dan Mbak Tari,”ucap Bu Maya sekali
lagi. “Saya gembira sekali bisa bertemu bekas sahabat lama di Jakarta ini,
Mbak. Sehingga saya masih bisa mendapatkan pekerjaan baru sebagai penyambung
hidup saya dan anak saya ini,”seraya berkata demikian, Bu Maya mengelus-elus
kepala Arini, anak tunggalnya.
“Ah, urusan pekerjaan di Jakarta ini masih banyak, Mbak. Asal kita mau
bekerja, tidak berpangku tangan, tentu kita akan dapat memperolehnya. Dari itu
semua, tentu kita bakal mendapat upah sebagai penyambung hidup,”demikian Pak
Arif berkilah.
“Benar, Mbak Maya,”tambah Bu Tari. “Di mana pun kita merantau,
“sambungnya. “Kalau kita enggan bekerja, ya tetap tidak akan memperoleh upah.
Jangankan untuk menyambung hidup sebulan, untuk hidup sehari saja amat susah
rasanya. Bukankah begitu, Mbak?”Bu Tari memandangi Bu Maya sembari tersenyum
ramah.
“Benar, Mbak,”sahut Bu Maya. “Itu pula sebabnya,”sambungnya. “Jauh-jauh
saya dan anak saya datang kemari tak lain adalah untuk mencari bekal hidup.”
Pak Arif dan Bu Tari tersenyum-senyum menanggapi perkataan Bu Maya tadi.
“Iya. Mudah-mudahan apa yang Mbak cari akan dapat Mbak temukan di
sini,”ujar Pak Arif ramah.
“Amiiinnn…..!”sahut Bu Maya penuh harap.
Usai itu, Bu Maya maupun Arini diajak ke ruang belakang oleh Bu
Tari. Keduanya kemudian diajak makan
siang bersama.
( Bersambung )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan masukkan komentar Anda dengan sopan dan tidak berbau SARA.