SELAMAT DATANG DI BLOG GURU BELAJAR MENGARANG

Senin, 06 Agustus 2012

A Y A H (Bagian V)


 5. Bertemu Sahabat Lama

Oleh Sardono Syarief

 Sampai di Tanah Abang, dengan segera Bu Maya turun dari dalam bus. Digandengnya Arini menyeberang jalan.
“Lewat Slipi, Pak?”tanya Bu Maya manakala mendekat mikrolet.
“Ke mana, Bu?”balas Pak Sopir.
“Palmerah, Pak.”
“Oh, ya?  Mari, naik, Bu!”Pak Sopir mempersilakan.
Bu Maya masuk ke dalam mikrolet. Dibimbingnya Arini masuk lebih dulu.
Seraya mencari penumpang lain, pelan-pelan mikrolet  yang ditumpangi Bu Maya bergerak maju.
“Kebayoran Lama, Kebayoran Lama…!”Pak Sopir yang sudah separoh umur itu menawarkan jasanya.

“Kiri, Pak!”pinta Bu Maya tiba-tiba.
‘Turun di sini, Bu?”tanya Pak Sopir seraya berpaling ke belakang,  ke arah Bu Maya.
“Ya, Pak,”sahut Bu Maya lembut.
Pelan-pelan Pak Sopir menghentikan mobilnya.
“Terima kasih, Pak,”Bu Maya mengulurkan ongkosnya.
“Terima kasih kembali…..,”sahut Pak Sopir sembari tersenyum.
Lima detik kemudian, mobil itu pun bergerak maju lagi.
Bu Maya menggandeng lengan Arini memasuki sebuah gang. Gang itu tidak jauh dari jalan raya. Tidak seberapa lama mereka menyusuri gang, tibalah keduanya pada sebuah rumah yang megah lagi besar.
“Assalamualaikum…..!”seru Bu Maya dari depan pintu.
“Waalaikumsalam…….!”terdengar sahut seorang gadis dari dalam.
“Maaf, Mbak. Pak Arif ada?”sambil tersenyum, Bu Maya bertanya ketika gadis itu membukakan pintu.
Ada, Mbak. Mbak siapa dan dari mana?”jawab gadis cantik yang membukakan pintu tadi.
“Saya Maya, Mbak. Sahabat lama Bapak dan Ibu Arif dari Pekalongan,”jawab Bu Maya menerangkan. Ada sedikit ragu di hatinya. “Benarkah ini rumah Mas Arif, sahabatku? Apakah  dia masih mengenaliku?”kata Bu Maya dalam hati.
   “Oh,ya? Mari, silakan masuk dulu, Mbak Maya!”gadis cantik itu mengerti dan mempersilakan.
“Terima kasih, Mbak,”Bu Maya masuk.
Bu Maya dan Arini mengambil duduk di ruang tamu. Sementara, gadis cantik itu masuk ke ruang tengah. Tak lama dari itu, muncullah kembali gadis manis tadi. Di belakangnya mengikuti pula seorang lelaki yang dikenali betul oleh Bu Maya. Siapa lagi lelaki bertubuh sedang itu kalau bukan Pak Arif, sahabat lama di desanya dulu?
Begitu melihat Pak Arif melangkah mendekatinya, berserulah Bu Maya.
“Mas Arif……..!”
“Oh, Mbak Maya?”dengan senyum tersungging di bibir, lelaki berkumis tebal itu menyahut. “Dengan  siapa Mbak Maya datang kemari? Dan di mana Mas Arjuna?”tanya Pak Arif seraya memandangi Bu Maya tak berkedip-kedip.
“Saya datang dengan si kecil, anak saya ini, Mas.”
Pandangan Pak Arif   beralih ke arah Arini yang duduk di sebelah kiri ibunya. Lelaki sebaya Pak Arjuna tadi mengangguk-angguk sembari tersenyum. “Siapa nama si cantik ini, Mbak?”tanya Pak Arif ingin tahu.
“Arini, Mas,”jawab Bu Maya mengenalkan anaknya.
Kembali Pak Arif mengangguk-angguk.
“Sebuah nama yang cukup bagus!”puji Pak Arif kepada Arini.
Arini tersenyum, senang.
Sejauh itu, Bu Tari, istri Pak Arif, muncul ke ruang tamu.
“Oh, Mbak Maya….! Apa kabar, Mbak?”dengan ramah Bu Tari menyambut tamunya.
Bu Maya tersenyum. Senang hatinya bisa bertemu dengan sahabat lama  sewaktu di desa dulu.
“Kabar saya baik-baik saja, Mbak Tari,”jawab Bu Maya. “Hanya saja, “tambahnya. “Mas Arjuna yang……..,”kalimat Bu Maya terputus.
“Yang bagaimana Mas Arjuna, Mbak?”sahut Bu Tari hampir bersamaan dengan Pak Arif.
“Mas Arjuna dipenjara, Mbak,”jawab Bu Maya lemah.
“Aaa…? Mas Arjuna dipenjara?”kening Pak Arif seketika berkerut. Ia terkejut dan tidak percaya, orang sebaik Pak Arjuna masuk penjara.
“Benar, Mas Arif. Suami saya dipenjara,”Bu Maya meyakinkan.
“Memangnya Mas Arjuna salah apa, Mbak?”sela Bu Tari ingin tahu.
Maka, diceritakanlah perihal Pak Arjuna oleh Bu Maya. Mulai dari saat awal merantau di daerah Pulogadung, sampai pada ditahannya oleh Polisi di Pekalongan.
“Untuk itulah saya datang kemari hanya ditemani anak saya saja, Mbak. Niat saya mau mencari pekerjaan pada Mbak Tari dan Mas Arif.”
“Kiranya pekerjaan apa yang bisa kami berikan pada Mbak Maya?”ujar  Pak Arif.
“Terserah Mas Arif dan Mbak Tari sajalah,”jawab Bu Maya pasrah. “Bukankah Pak Arif menjadi Boss konveksi pakaian jadi?”
Pak Arif maupun istrinya saling pandang. Keduanya saling berbisik.
“Mbak Maya bisa menjahit, tidak?”tanya Pak Arif tidak lama dari itu.
“Sedikit-sedikit bisa, Mas,”jawab Bu Maya merendahkan diri. Padahal sesungguhnya ibu muda itu cukup terampil  menjahit pakaian wanita. Bukankah sebelum Pak Arjuna ditahan polisi dulu, di rumah kerja Bu Maya sebagai tukang jahit pakaian wanita?
“Kalau begitu, bagaimana jika Mbak Maya saya beri kerjaan menjahit?”
“Bisa saja, Mas. Terima kasih,”jawab Bu Maya gembira. Ternyata sahabat lamanya masih mau menerimanya sebagai karyawan baru.
Hari-hari berikutnya Bu Maya bekerja sebagai tukang jahit di rumah Pak Arif.  Sebelum memperoleh bayaran dari hasil kerjanya, Bu Maya diminta untuk mau tinggal serumah dengan keluarga Pak Arif.  Bu Tari yang mengusulkannya. Tentu saja Bu Maya sangat gembira.
“Betul, Mbak. Mbak Maya tak usah segan-segan untuk tinggal bersama kami di rumah ini,”demikian pinta istri Pak Arif. “Mbak Maya tak usah canggung terhadap kami,”sambungnya.
“Terima kasih, Mbak Tari. Terima kasih Mas Arif. Kalian sangat baik. Entah dengan cara apa kami bisa membalasnya,”kata Bu Maya apa adanya.
“Ah, sudahlah…! Jangan terlalu Mbak Maya pikirkan. Kami juga punya anak sebesar Arini, kok. Kalau Arini mau tinggal di rumah ini, maka anak kami bakal ada teman bermain,”ujar Pak Arif menguatkan permintaan istrinya.
“Terima kasih atas kebaikan Mas Arif dan Mbak Tari,”ucap Bu Maya sekali lagi. “Saya gembira sekali bisa bertemu bekas sahabat lama di Jakarta ini, Mbak. Sehingga saya masih bisa mendapatkan pekerjaan baru sebagai penyambung hidup saya dan anak saya ini,”seraya berkata demikian, Bu Maya mengelus-elus kepala Arini, anak tunggalnya.
“Ah, urusan pekerjaan di Jakarta ini masih banyak, Mbak. Asal kita mau bekerja, tidak berpangku tangan, tentu kita akan dapat memperolehnya. Dari itu semua, tentu kita bakal mendapat upah sebagai penyambung hidup,”demikian Pak Arif berkilah.
“Benar, Mbak Maya,”tambah Bu Tari. “Di mana pun kita merantau, “sambungnya. “Kalau kita enggan bekerja, ya tetap tidak akan memperoleh upah. Jangankan untuk menyambung hidup sebulan, untuk hidup sehari saja amat susah rasanya. Bukankah begitu, Mbak?”Bu Tari memandangi Bu Maya sembari tersenyum ramah.
“Benar, Mbak,”sahut Bu Maya. “Itu pula sebabnya,”sambungnya. “Jauh-jauh saya dan anak saya datang kemari tak lain adalah untuk mencari bekal hidup.”
Pak Arif dan Bu Tari tersenyum-senyum menanggapi perkataan Bu Maya tadi.
“Iya. Mudah-mudahan apa yang Mbak cari akan dapat Mbak temukan di sini,”ujar Pak Arif ramah.
“Amiiinnn…..!”sahut Bu Maya penuh harap.
Usai itu, Bu Maya maupun Arini diajak ke ruang belakang oleh Bu Tari.  Keduanya kemudian diajak makan siang bersama.

( Bersambung )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan masukkan komentar Anda dengan sopan dan tidak berbau SARA.