4. Dalam Sebuah Perjalanan
Oleh Sardono Syarief
“Kiri, Om …!”pinta Bu Maya kepada supir
mikrolet yang membawanya lari dari Pulogadung.
“Turun di sini, Mbak?”tanya supir mikrolet yang usianya sedikit lebih
muda dari Bu Maya.
“Iya,”Bu Maya mengiyakan sembari mengangguk.
Supir mikrolet menghentikan kendaraannya dengan segera.
Bu Maya bangkit dari jok yang didudukinya. Dengan langkah sedikit
terburu-buru, dibimbingnya Arini turun dari mobil omprengan tersebut.
“Hati-hati, Mbak!”kata Om Sopir mengingatkan.
“Ya, Om. Terima kasih,”sahut Bu Maya singkat.
Bedug isya terdengar ditabuh orang di masjid ketika ibu dan anak tadi
tiba di rumah.
“Arini!”panggil Bu Maya dari dalam kamar.
“Saya, Bu!”sahut Arini yang sedang mandi.
“Sudah selesai mandimu, Nak?”
“Belum. Sebentar lagi, Bu!”
“Lekas! Jangan kelamaan!”
“Baik, Bu.”
Tak berapa lama dari itu, keluarlah Arini dari kamar mandi. Gadis kecil
itu segera masuk ke kamar untuk ganti pakaian.
“Arini sudah selesai, Bu. Sekarang gantian Ibu yang mandi,”ujar Arini
sambil mencari pakaian di almari.
“Baik, Nak,”Bu Maya segera bangkit dari duduknya. Ibu muda itu lalu
melangkah ke kamar mandi.
Selesai mandi dan sholat isya, Bu Maya mengajak Arini makan.
“Ayo, kita makan dulu, Rin!”
“Mari, Bu,”Arini tidak menolak. Apalagi perut anak itu memang sudah keroncongan
sejak sore tadi. Tak heran kalau dua
bungkus nasi yang senja tadi sempat Bu Maya beli di terminal bus induk
Pulogadung, dibukanya dengan segera.
Ibu dan anak tadi kini menikmati nasi rames berlauk tahu goreng dan
kerupuk dengan lahap. Sampai tak terasa kalau perut Arini tiba-tiba menjadi
sakit akibat kekenyangan.
“Aduh, Bu..! Perut Arini sakit, Bu…!”keluh Arini seraya memegangi
perutnya yang terlihat buncit. Anak itu meringis kesakitan.
“Makanya, kalau makan tidak boleh terlalu banyak, Rin,”Bu Maya
mengusap-usap perut Arini dengan diolesi minyak kayu putih.
“Memangnya kenapa, Bu?”sambil menahan sakit, Arini sempat bertanya.
“Kalau makan kelewat banyak, ya begini jadinya. Perutmu akan sakit,”jawab
ibunya sambil menutup botol minyak kayu putih.
“Tadi nasinya tidak Ibu kurangi dulu, sih…!”rajuk Arini seperti
menyalahkan ibunya.
“Mana Ibu tahu, kalau perutmu akan sakit begini, Rin?”kilah Bu Maya.
“Ayo, kita pindah ke kamar!”digendongnya anak itu dengan hati-hati.
Arini terus mengaduh menahan sakit perutnya.
Mendengar itu, Bu Maya tidak tega membaringkan Arini sendirian di atas
ambin. Kepala anak itu direbahkan di pangkuannya dengan pelan-pelan. Akhirnya tertidurlah anak itu dengan nyenyak.
Tinggallah kini Bu Maya duduk termenung memikirkan nasib hidupnya.
“Besok pagi saya harus meninggalkan rumah ini. Untuk apa berlama-lama
tinggal di sini? Tokh Mas Arjuna masih lama masa bebasnya dari tahanan,”kata Bu
Maya dalam hati.
Malam itu Bu Maya benar-benar kebingungan. Ia sudah tidak memiliki jalan
keluar untuk menyelesaikan masalahnya.
Masalah tunggakan sewa kamar sebagaimana yang dituduhkan Pak Salim pagi
tadi.
“Eh….Saya kan mempunyai sahabat lama?”Bu Maya ngomong sendiri tanpa
sadar. Wajah sahabat lama tiba-tiba
membayang di hadapan matanya.
“Mas Arif pasti mau menolong saya,”ujar Bu Maya lagi. “Tetapi, bagaimana
kalau Mas Arif lupa pada saya? Ah, tidak! Mas Arif tentu tidak lupa pada saya.
Bukankah dia teman sejak kecil ketika dulu sama-sama di desa?”ucap Bu Maya
sendirian, lirih.
Menurut kabar, Pak Arif kini merantau di Jakarta. Dia tinggal di Kelurahan
Kemanggisan, Palmerah. Dia memiliki usaha konveksi yang cukup berhasil.
Sedangkan Bu Maya mempunyai keterampilan menjahit pakaian. Jadi
ia yakin kalau Pak Arif, sahabat lamanya,
tentu mau menerima kedatangannya
dengan tulus. Bagi Bu Maya, walaupun tidak diberi upah sepeser pun,
asalkan ada tempat berteduh bagi diri dan anaknya, sudah cukuplah. Bu Maya akan
merasa senang sekali bila kedatangannya disambut baik oleh keluarga Pak Arif.
“Plok….!”seekor cicak putih jatuh dari langit-langit kamar menghantam
meja di kamar. Lamunan Bu Maya seketika buyar.
“Ah….!”desahnya, kaget. “Saya kira suara apa?”ujarnya dalam hati.
“Ada apa,
Bu?”tanya Arini yang tiba-tiba terjaga dari tidurnya.
“Ada
cicak jatuh mengenai meja, Rin. Ibu
kaget. Kamu kaget juga?”
“Iya, Bu,”sahut Arini dengan nada serak. Matanya sangat mengantuk.
“Sudah. Tidurlah kembali! Malam
masih panjang.”
“Mengapa Ibu belum tidur? Apakah tidak mengantuk?”
Bu Maya berusaha tersenyum. “Tadi Ibu sudah tidur kok, Rin. Ibu terbangun
mendengar suara nyamuk berdengung,”sengaja Bu Maya membohongi anaknya. Ibu muda
itu tak ingin Arini ikut memikirkan kesedihan yang menimpanya. “Biarlah akan
kurasakan sendiri masalah ini,”kata Bu Maya dalam hati. Sejenak kemudian segera
ia merebahkan tubuhnya di sisi Arini.
Sementara, malam kian larut. Meski
demikian mata Bu Maya tak bisa terpejam sedikit pun. Bayangan kecurangan Pak
Salim sangat mengganggu pikirannya.
“Bagaimana kalau Pak Salim tetap memaksa agar saya membayar sewa kamar
yang tidak diakuinya itu?”resah hati Bu Maya.
“Ah, masa bodoh! Mengapa saya
harus berpikir terlalu berat? Jika Pak
Salim memaksa, saya akan berjanji dulu. Yang penting besok pagi-pagi benar saya
harus keluar dari rumah ini!”demikian Bu Maya berusaha menenangkan diri.
Malam makin sepi. Dari gardu di ujung gang terdengar kentongan dipukul
orang dua kali. Saat itu barulah Bu Maya dapat terlelap tidur. Pulas.
“Astaghfirullahal azhiim….. Hari sudah pagi, rupanya!”kedua mata Bu Maya
terbelalak tiba-tiba dari tidurnya. Dari celah-celah jendela kamar, ia dapat
mengintai remang-remang fajar di langit timur. “Belum jam setengah lima,”gumam
Bu Maya setelah melirik jam beker di meja kamarnya. Ibu muda itu segera turun
dari tempat tidur untuk salat subuh.
Selepas salat, dengan cepat Bu Maya berkemas diri. Semua pakaian miliknya maupun Arini
dikeluarkan dari almari. Lalu dengan tas
besar, pakaian-pakaian itu ditata ke dalamnya. Tak tertinggal alat kecantikan
dan perhiasan yang dimiliki, segera dimasukkannya pula.
Selesai memasukkan semua barang miliknya ke dalam tas, dibangunkannya
Arini dengan hati-hati.
“Rin….Arini…!”bisik ibu muda itu di telinga kiri anaknya.
“Heeeeeeh….!”Arini menggeliat ke kanan.
“Sssseeettttt…..!”tubuh Arini digoyang-goyangkan berkali-kali. “Bangun!
Hari sudah siang!”telinga anaknya dibisiki sekali lagi.
“Heeehhhh…!”lagi-lagi Arini menggeliat.
“Hai, bangun! Kau mau ikut Ibu tidak, Rin?”bisik Bu Maya lagi mengulang
pertanyaannya.
“Haaaa?”mata Arini mulai terbuka dari terpejamnya.
“Mau ikut Ibu tidak?”ulang Bu Maya sedikit keras.
“Ikut ke mana, Bu?”dengan suara agak serak, gadis kecil tadi bertanya tak
mengerti.
“Ke Palmerah, ke rumah teman Ibu.”
“Ibu jadi mau pindah dari sini?”
“Ya. Ayo, lekas bangun! Mau ikut tidak?”
Arini menurut. Anak itu segera bangun dari tidurnya. Kemudian ia segera
mandi.
Tidak berapa lama, anak dan ibu tadi selesai berdandan. Sebelum pergi ke
tempat tujuan, mereka ke rumah Pak Salim terlebih dulu. Tentunya untuk
berpamitan kepada si pemilik kamar sewaan yang selama ini dikontraknya.
Setiba di rumah Pak Salim, keduanya diterima oleh istri Pak Salim dengan
ramah. Ternyata sejak subuh tadi Pak Salim telah ke luar. Entah ke mana. Begitu
tutur Bu Zaenap, istri Pak Salim.
“Kalau begitu, bagaimana kalau saya titip pesan kepada Pak Haji Salim,
Bu?”usul Bu Maya setelah lama berbincang diri dengan Bu Zaenap.
“Pesan apakah kiranya, Bu Maya?”
“Sebelumnya saya minta maaf kepada Bu Zaenap.”
“Minta maaf? Mengapa?”tanya Bu Zaenap tidak mengerti.
“Begini, Bu,”ujar Bu Maya dengan sopan. “Saya titip uang sewa kamar untuk
tiga bulan ini. Nanti apabila Pak Salim tanya uang tunggakan, katakan saja
kalau saya sedang mencarikan tambahannya. Di samping itu, saya minta tenggang
waktu untuk beberapa minggu dulu, Bu.”
“Hanya itu pesan Bu Maya?”
“Iya, Bu,”Bu Maya mengangguk.
“Baiklah. Pesan Bu Maya akan Ibu sampaikan kepada Bapak.”
“Terima kasih, Bu. Saya mohon diri,”kata Bu Maya sembari bangkit dari
duduknya.
Bu Zaenap tersenyum. Wanita setengah baya itu bersikap ramah. Berlawanan
sekali dengan Pak Salim, suaminya. Bu Zaenap peramah, tahu belas kasih,
penderma, dan mau menghargai setiap tamu yang datang kepadanya. Sedangkan Pak
Salim, berwatak keras, angkuh, juga tidak mau tahu akan penderitaan orang lain.
Sejauh itu, Bu Maya dan Arini telah tiba di terminal bus induk
Pulogadung. Wanita muda itu tidak mampir ke warung makan Bu Marni, tempatnya
bekerja sehari-hari. Melainkan terus mencari bus jurusan Tanah Abang.
Setelah mendapatkan bus yang dicarinya, dengan hati-hati Bu Maya
membimbing Arini masuk ke dalam bus.
“Ayo, duduk di sana ,
Rin!”ajak Bu Maya seraya menuding ke arah kursi yang masih kosong.
Arini menganggukkan kepala. Anak itu duduk di sisi kiri ibunya. Sambil
menoleh ke kiri dan ke kanan jalan, Arini terasa gembira. Senyumnya selalu
mengembang di bibir mungilnya. Ia tidak tahu kalau hati ibunya sedang menyimpan
perasaan gundah.
“Heeeeemmmm……Ramai sekali kota Jakarta
ya, Bu?”Arini terkagum-kagum. Pandangan anak perempuan itu terus dilepaskan ke
kanan kiri jalan yang dilalui.
“Iya,”sahut ibunya datar. “Namanya saja Jakarta, Rin. Sudah barang tentu
ramainya jauh melebihi Pekalongan.”
“Apakah Pekalongan tidak seramai Jakarta, Bu?”
Bu Maya mengangguk.
“Arini ingin ke Pekalongan, Bu.”
“Ibu juga ingin, Rin.”
Arini tersenyum. Wajahnya ceria, pertanda hatinya berbunga-bunga.”
“Kapan Ibu akan ke sana ?”tanya
Arini dengan nada senang.
“Besok kalau Ibu sudah banyak uang, Rin.”
“Siiiip….!”Arini mengacungkan jempol tangan kanan seraya tersenyum,
gembira.
Usai itu, kembali Arini memusatkan perhatiannya ke arah kanan-kiri jalan.
Anak kecil itu tidak banyak komentar lagi. Ia terhanyut oleh keramaian kota Jakarta .
Kota metropolitan. Kota teramai di Indonesia.
(Bersambung)-------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan masukkan komentar Anda dengan sopan dan tidak berbau SARA.