SELAMAT DATANG DI BLOG GURU BELAJAR MENGARANG

Sabtu, 28 Juli 2012

A Y A H (Bagian IV)


4. Dalam Sebuah Perjalanan
Oleh Sardono Syarief


Kiri, Om…!”pinta Bu Maya kepada supir mikrolet yang membawanya lari dari Pulogadung.
“Turun di sini, Mbak?”tanya supir mikrolet yang usianya sedikit lebih muda dari Bu Maya.
“Iya,”Bu Maya mengiyakan sembari mengangguk.
Supir mikrolet menghentikan kendaraannya dengan segera.
Bu Maya bangkit dari jok yang didudukinya. Dengan langkah sedikit terburu-buru, dibimbingnya Arini turun dari mobil omprengan tersebut.
“Hati-hati, Mbak!”kata Om Sopir mengingatkan.
“Ya, Om. Terima kasih,”sahut Bu Maya singkat.
Bedug isya terdengar ditabuh orang di masjid ketika ibu dan anak tadi tiba di rumah.
“Arini!”panggil Bu Maya dari dalam kamar.
“Saya, Bu!”sahut Arini yang sedang mandi.
“Sudah selesai mandimu, Nak?”
“Belum. Sebentar lagi, Bu!”
“Lekas! Jangan kelamaan!”
“Baik, Bu.”

Tak berapa lama dari itu, keluarlah Arini dari kamar mandi. Gadis kecil itu segera masuk ke kamar untuk ganti pakaian.
“Arini sudah selesai, Bu. Sekarang gantian Ibu yang mandi,”ujar Arini sambil mencari pakaian di almari.
“Baik, Nak,”Bu Maya segera bangkit dari duduknya. Ibu muda itu lalu melangkah ke kamar mandi.
Selesai mandi dan sholat isya, Bu Maya mengajak Arini makan.
“Ayo, kita makan dulu, Rin!”
“Mari, Bu,”Arini tidak menolak. Apalagi perut anak itu memang sudah keroncongan sejak sore tadi. Tak heran kalau dua  bungkus nasi yang senja tadi sempat Bu Maya beli di terminal bus induk Pulogadung, dibukanya  dengan segera.
Ibu dan anak tadi kini menikmati nasi rames berlauk tahu goreng dan kerupuk dengan lahap. Sampai tak terasa kalau perut Arini tiba-tiba menjadi sakit akibat kekenyangan.
“Aduh, Bu..! Perut Arini sakit, Bu…!”keluh Arini seraya memegangi perutnya yang terlihat buncit. Anak itu meringis kesakitan.
“Makanya, kalau makan tidak boleh terlalu banyak, Rin,”Bu Maya mengusap-usap perut Arini dengan diolesi minyak kayu putih.
“Memangnya kenapa, Bu?”sambil menahan sakit, Arini sempat bertanya.
“Kalau makan kelewat banyak, ya begini jadinya. Perutmu akan sakit,”jawab ibunya sambil menutup botol minyak kayu putih.
“Tadi nasinya tidak Ibu kurangi dulu, sih…!”rajuk Arini seperti menyalahkan ibunya.
“Mana Ibu tahu, kalau perutmu akan sakit begini, Rin?”kilah Bu Maya. “Ayo, kita pindah ke kamar!”digendongnya anak itu dengan hati-hati.
Arini terus mengaduh menahan sakit perutnya.
Mendengar itu, Bu Maya tidak tega membaringkan Arini sendirian di atas ambin. Kepala anak itu direbahkan di pangkuannya dengan pelan-pelan.  Akhirnya tertidurlah anak itu dengan nyenyak.
Tinggallah kini Bu Maya duduk termenung memikirkan nasib hidupnya.
“Besok pagi saya harus meninggalkan rumah ini. Untuk apa berlama-lama tinggal di sini? Tokh Mas Arjuna masih lama masa bebasnya dari tahanan,”kata Bu Maya dalam hati.
Malam itu Bu Maya benar-benar kebingungan. Ia sudah tidak memiliki jalan keluar untuk menyelesaikan masalahnya.  Masalah tunggakan sewa kamar sebagaimana yang dituduhkan Pak Salim pagi tadi.
“Eh….Saya kan mempunyai sahabat lama?”Bu Maya ngomong sendiri tanpa sadar.    Wajah sahabat lama tiba-tiba membayang di hadapan matanya.
“Mas Arif pasti mau menolong saya,”ujar Bu Maya lagi. “Tetapi, bagaimana kalau Mas Arif lupa pada saya? Ah, tidak! Mas Arif tentu tidak lupa pada saya. Bukankah dia teman   sejak kecil   ketika dulu sama-sama di desa?”ucap Bu Maya sendirian, lirih.
Menurut kabar, Pak Arif kini merantau di Jakarta. Dia tinggal di  Kelurahan  Kemanggisan, Palmerah. Dia memiliki usaha konveksi yang cukup berhasil. Sedangkan  Bu Maya  mempunyai keterampilan menjahit pakaian. Jadi ia yakin kalau Pak Arif, sahabat lamanya,  tentu mau menerima kedatangannya  dengan tulus. Bagi Bu Maya, walaupun tidak diberi upah sepeser pun, asalkan ada tempat berteduh bagi diri dan anaknya, sudah cukuplah. Bu Maya akan merasa senang sekali bila kedatangannya disambut baik oleh keluarga Pak Arif.
“Plok….!”seekor cicak putih jatuh dari langit-langit kamar menghantam meja di kamar. Lamunan Bu Maya seketika buyar.
“Ah….!”desahnya, kaget. “Saya kira suara apa?”ujarnya dalam hati.
Ada apa, Bu?”tanya Arini yang tiba-tiba terjaga dari tidurnya.
Ada cicak jatuh  mengenai meja, Rin. Ibu kaget. Kamu kaget juga?”
“Iya, Bu,”sahut Arini dengan nada serak. Matanya sangat mengantuk.
“Sudah. Tidurlah kembali!  Malam masih panjang.”
“Mengapa Ibu belum tidur? Apakah tidak mengantuk?”
Bu Maya berusaha tersenyum. “Tadi Ibu sudah tidur kok, Rin. Ibu terbangun mendengar suara nyamuk berdengung,”sengaja Bu Maya membohongi anaknya. Ibu muda itu tak ingin Arini ikut memikirkan kesedihan yang menimpanya. “Biarlah akan kurasakan sendiri masalah ini,”kata Bu Maya dalam hati. Sejenak kemudian segera ia merebahkan tubuhnya di sisi Arini.
Sementara, malam kian  larut. Meski demikian mata Bu Maya tak bisa terpejam sedikit pun. Bayangan kecurangan Pak Salim sangat mengganggu pikirannya.
“Bagaimana kalau Pak Salim tetap memaksa agar saya membayar sewa kamar yang tidak diakuinya itu?”resah hati Bu Maya.  “Ah, masa bodoh!  Mengapa saya harus berpikir terlalu berat?  Jika Pak Salim memaksa, saya akan berjanji dulu. Yang penting besok pagi-pagi benar saya harus keluar dari rumah ini!”demikian Bu Maya berusaha menenangkan diri.
Malam makin sepi. Dari gardu di ujung gang terdengar kentongan dipukul orang dua kali. Saat itu barulah Bu Maya dapat terlelap tidur. Pulas.
“Astaghfirullahal azhiim….. Hari sudah pagi, rupanya!”kedua mata Bu Maya terbelalak tiba-tiba dari tidurnya. Dari celah-celah jendela kamar, ia dapat mengintai remang-remang fajar di langit timur. “Belum jam setengah lima,”gumam Bu Maya setelah melirik jam beker di meja kamarnya. Ibu muda itu segera turun dari tempat tidur untuk salat subuh.
Selepas salat, dengan cepat Bu Maya berkemas diri.  Semua pakaian miliknya maupun Arini dikeluarkan dari almari.  Lalu dengan tas besar, pakaian-pakaian itu ditata ke dalamnya. Tak tertinggal alat kecantikan dan perhiasan yang dimiliki, segera dimasukkannya pula.
Selesai memasukkan semua barang miliknya ke dalam tas, dibangunkannya Arini dengan hati-hati.
“Rin….Arini…!”bisik ibu muda itu di telinga kiri anaknya.
“Heeeeeeh….!”Arini menggeliat ke kanan.
“Sssseeettttt…..!”tubuh Arini digoyang-goyangkan berkali-kali. “Bangun! Hari sudah siang!”telinga anaknya dibisiki sekali lagi.
“Heeehhhh…!”lagi-lagi Arini menggeliat.
“Hai, bangun! Kau mau ikut Ibu tidak, Rin?”bisik Bu Maya lagi mengulang pertanyaannya.
“Haaaa?”mata Arini mulai terbuka dari terpejamnya.
“Mau ikut Ibu tidak?”ulang Bu Maya sedikit keras.
“Ikut ke mana, Bu?”dengan suara agak serak, gadis kecil tadi bertanya tak mengerti.
“Ke Palmerah, ke rumah teman Ibu.”
“Ibu jadi mau pindah dari sini?”
“Ya. Ayo, lekas bangun! Mau ikut tidak?”
Arini menurut. Anak itu segera bangun dari tidurnya. Kemudian ia segera mandi.
Tidak berapa lama, anak dan ibu tadi selesai berdandan. Sebelum pergi ke tempat tujuan, mereka ke rumah Pak Salim terlebih dulu. Tentunya untuk berpamitan kepada si pemilik kamar sewaan yang selama ini dikontraknya.
Setiba di rumah Pak Salim, keduanya diterima oleh istri Pak Salim dengan ramah. Ternyata sejak subuh tadi Pak Salim telah ke luar. Entah ke mana. Begitu tutur Bu Zaenap, istri Pak Salim.
“Kalau begitu, bagaimana kalau saya titip pesan kepada Pak Haji Salim, Bu?”usul Bu Maya setelah lama berbincang diri dengan Bu Zaenap.
“Pesan apakah kiranya, Bu Maya?”
“Sebelumnya saya minta maaf kepada Bu Zaenap.”
“Minta maaf? Mengapa?”tanya Bu Zaenap tidak mengerti.
“Begini, Bu,”ujar Bu Maya dengan sopan. “Saya titip uang sewa kamar untuk tiga bulan ini. Nanti apabila Pak Salim tanya uang tunggakan, katakan saja kalau saya sedang mencarikan tambahannya. Di samping itu, saya minta tenggang waktu untuk beberapa minggu dulu, Bu.”
“Hanya itu pesan Bu Maya?”
“Iya, Bu,”Bu Maya mengangguk.
“Baiklah. Pesan Bu Maya akan Ibu sampaikan kepada Bapak.”
“Terima kasih, Bu. Saya mohon diri,”kata Bu Maya sembari bangkit dari duduknya.
Bu Zaenap tersenyum. Wanita setengah baya itu bersikap ramah. Berlawanan sekali dengan Pak Salim, suaminya. Bu Zaenap peramah, tahu belas kasih, penderma, dan mau menghargai setiap tamu yang datang kepadanya. Sedangkan Pak Salim, berwatak keras, angkuh, juga tidak mau tahu akan penderitaan orang lain.
Sejauh itu, Bu Maya dan Arini telah tiba di terminal bus induk Pulogadung. Wanita muda itu tidak mampir ke warung makan Bu Marni, tempatnya bekerja sehari-hari.  Melainkan  terus mencari bus jurusan Tanah Abang.
Setelah mendapatkan bus yang dicarinya, dengan hati-hati Bu Maya membimbing Arini masuk ke dalam bus.
“Ayo, duduk di sana, Rin!”ajak Bu Maya seraya menuding ke arah kursi yang masih kosong.
Arini menganggukkan kepala. Anak itu duduk di sisi kiri ibunya. Sambil menoleh ke kiri dan ke kanan jalan, Arini terasa gembira. Senyumnya selalu mengembang di bibir mungilnya. Ia tidak tahu kalau hati ibunya sedang menyimpan perasaan gundah.
“Heeeeemmmm……Ramai sekali kota Jakarta ya, Bu?”Arini terkagum-kagum. Pandangan anak perempuan itu terus dilepaskan ke kanan kiri jalan yang dilalui.
“Iya,”sahut ibunya datar. “Namanya saja Jakarta, Rin. Sudah barang tentu ramainya jauh melebihi Pekalongan.”
“Apakah Pekalongan tidak seramai Jakarta, Bu?”
Bu Maya mengangguk.
“Arini ingin ke Pekalongan, Bu.”
“Ibu juga ingin, Rin.”
Arini tersenyum. Wajahnya ceria, pertanda hatinya berbunga-bunga.”
“Kapan Ibu akan ke sana?”tanya Arini dengan nada senang.
“Besok kalau Ibu sudah banyak uang, Rin.”
“Siiiip….!”Arini mengacungkan jempol tangan kanan seraya tersenyum, gembira.
Usai itu, kembali Arini memusatkan perhatiannya ke arah kanan-kiri jalan. Anak kecil itu tidak banyak komentar lagi. Ia terhanyut oleh keramaian kota Jakarta. Kota metropolitan. Kota teramai di Indonesia.
 (Bersambung)-------------






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan masukkan komentar Anda dengan sopan dan tidak berbau SARA.