SELAMAT DATANG DI BLOG GURU BELAJAR MENGARANG

Rabu, 11 Juli 2012

A Y A H (Bagian III)




Oleh  Sardono Syarief

Bu Maya beranjak dari bibir ambin. Kemudian berjalan menuju meja kecil yang terletak di sudut kamar. Setelah sesaat dipungutnya sisir merah yang tergeletak di meja tersebut, ibu muda tadi berdiri di depan almari kaca. Pelan-pelan ia menyisir rambutnya. Setelah itu, tipis-tipis  ia memoles pipinya dengan bedak kecantikan yang dimilikinya. Bu Maya tampak mulai berdandan diri.
“Ibu mau berangkat kerja?”tanya Arini yang sedari tadi turut duduk di bibir ambin. Anak itu memperhatikan gerak-gerik ibunya yang sibuk di depan almari kaca.
“Ya, Nak. Ibu mau bekerja untuk mendapatkan uang,”jawab Bu Maya sambil menoleh ke arah Arini.
“Untuk membayar sewa kamar ya, Bu?”
“Tidak,”sahut Bu Maya cepat. “Untuk ongkos pindah dari rumah ini, Rin.”
“Oh ya, Bu! Rini mengerti,”seraya berkata begitu, Arini turun dari tempat duduknya. Lalu melangkah mendekati ibunya. Sambil memegangi ujung baju ibunya, anak perempuan itu bertanya.

“Rini ikut ya,Bu?”Arini tengadah memandangi ibunya.
Sebelum menjawab Bu Maya tersenyum. Diletakkannya sisir merah dan setepak bedak pada tempatnya semula.
“Hari ini Ibu kesiangan, Nak. Bagaimana kalau Ibu pergi sendirian saja?”ujar Bu Maya memohon pengertian anaknya.
“Arini di rumah harus dengan siapa, Bu?”
“Kamu bisa bermain di rumah Mbak Teten.”
“Bukankah Mbak Teten pergi sekolah, Bu?”
Bu Maya terdiam. Benar juga, pikirnya.  Pagi itu, Mbak Teten, putri tetangga sebelah  pergi sekolah. Sebab pagi itu bukan hari Minggu, melainkan hari Senin.
“Di rumah sendirian kau berani bukan, Rin?”
Arini menggeleng.
“Kenapa?”
“Arini takut Pak Salim datang ke mari, Bu. Arini ikut Ibu saja, ah…!”anak itu merajuk.
“Kalau begitu, lekas ganti pakaian!”Bu Maya menerima alasan anaknya.
Arini segera melapas baju yang dikenakan. Dari dalam almari pakaian, anak itu mengambil kaos oblong putih dan celana beludru hitam.
“Sudah siap, Rin?”tanya Bu Maya seraya memandangi anaknya yang sedang bercermin mematut-matut diri.
“Sudah, Bu.”
“Mari, kita berangkat!”ajak Bu Maya. Digandengnya lengan kanan Arini dengan erat. Diajaknya anak itu keluar rumah.
Setelah sesaat dikuncinya pintu   depan  dengan pasti, pergilah ibu muda tadi ke tempat kerjanya bersama Arini. Keduanya melangkah menyusuri gang kecil penghubung jalan raya.
“Stop, Om…!”tangan kiri Bu Maya melambai-lambai menghentikan laju mikrolet angkutan kota yang menuju terminal bus induk Pulogadung.
“Silakan masuk, Bu!”sambut kernet mikrolet ramah.
Dengan hati-hati Bu Maya memasuki kendaraan beroda empat tersebut. Tak lupa dibimbingnya pula Arini lewat pintu yang sama.
“Tarik…..!”teriak kernet memberi aba-aba pada Pak Sopir. Mikrolet perlahan-lahan meluncur dengan cepat. Dari knalpotnya tampak keluar asap putih tersembur panjang. Mobil kecil itu menyusup di antara lalu-lalang kendaraan lain di sepanjang jalan hingga tiba di terminal bus induk Pulogadung.
Bu Maya turun dengan diikuti Arini.
“Terlalu siang benar datangmu hari ini, Bu Maya?”tegur Bu Marni, majikan warung makan tempatnya bekerja.
“Maaf, Bu. Baru ada tamu,”sahut Bu Maya beralasan.
“Tamu dari mana, Bu?”tanya wanita setengah umur yang bertubuh gendut dan berambut pendek itu menyelidiki.
“Dari Pekalongan, Bu,”lagi-lagi Bu Maya berbohong.
“Saudara?”
“Betul, Bu!”Bu Maya mengangguk.
“Ya sudah. Bekerjalah cepat! Itu tumpukan piring kotor telah menunggumu sejak pagi tadi.”
“Baik, Bu,”Bu Maya berlalu ke dalam.
“Arini…!”panggil Bu Marni begitu melihat anak itu membuntuti Bu Maya.
Arini menoleh.
“Saya, Bu,”sahut anak kecil itu sopan.
“Sini…!”panggil Bu Marni sekali lagi seraya duduk di bangku warung.
Arini mendekat Bu Marni.
“Kau sudah sarapan?”sapa si pemilik warung makan tadi kepada Arini.
“Sudah, Bu.”
“Oh, ya? Kalau sudah, sana bermain di belakang! Sambil bantu Ibumu bekerja, ya!”
Sembari mengangguk, Arini menyahut,”Baik, Bu.” Anak itu kemudian berlalu meninggalkan Bu Marni yang tengah duduk-duduk santai di bangku warung.
Rupanya Arini kenal betul akan tabiat Bu Marni, majikan ibunya tadi. Bu Marni kadang  keras, namun kadang suka  ramah juga.
“Bu Marni….,”ujar Bu Maya manakala senja sudah tiba.
“Ya?”Bu Marni melepas pandang ke arah Bu Maya.  “Ada perlu dengan saya?”lanjutnya sembari mengambil duduk di bangku warung.
“Betul, Bu!,”jawab Bu Maya seraya tersenyum yang dibuat-buat. Ia mengambil duduk di hadapan Bu Marni.
“Coba katakan, Bu Maya!”
“Maaf, Bu,”ujar Bu Maya setengah ragu. “Apakah kiranya Bu Marni masih bisa menolong saya?”lanjut Bu Maya mengamati wajah majikannya.
“Maksud Bu Maya?”kening Bu Marni sedikit berkerut.
“Begini, Bu,”Bu Maya mulai mengutarakan maksud hatinya. “Tadi pagi saya telah mendapat teguran dari Pak Salim, Bu. Katanya, seminggu lagi masa   sewa kamar saya sudah berakhir.”
“Oh, ya?”timpal Bu Marni acuh tak acuh. “Lalu, maksud Bu Maya?”kening Bu Marni makin berkerut dalam.
“Saya bermaksud hutang bayaran kepada Ibu.”
Mendengar itu, Bu Marni makin acuh tak acuh. Matanya bukan memandangi Bu Maya, melainkan memperhatikan lalu-lalang orang yang sibuk melintas di depan warungnya.
“Masalah bayaran untuk upah kerja, tak usah Bu Maya cemaskan!”kata majikan gendut itu manakala berpaling kembali ke arah Bu Maya. “Bukankah saya selalu bisa tepat waktu dalam memberi bayaran setiap akhir bulan, Bu Maya?”
“Benar, Bu,”Bu Maya membenarkan. “Namun kali ini saya memohon, agar sudi kiranya Bu Marni bisa memberikan pinjaman bayaran sebelum tiba akhir bulan, Bu!”
“Aduuuuuuuuhhhhh….! Maaf sekali, Bu Maya,”Bu Marni menggeleng-gelengkan kepala, tanda keberatan.
“Bagaimana, Bu?”tanya Bu Maya   mengharap pengertian majikannya.
“Ibu rasa, tak bisa, Bu Maya.”
“Kenapa, Bu? Apakah Bu Marni tak menaruh iba pada saya, Bu?”rengek Bu Maya memelas.
“Kalau saya tak kasihan,”sahut Bu Marni. “Mana mungkin saya memberi bayaran enam ratus ribu rupiah kepada Bu Maya dalam setiap bulannya?  Di warung lain tak ada lho…!”
“Tapi, Bu,”sahut Bu Maya penuh harap. “Dengan uang sebanyak itu, saya belum bisa melunasi sewa kamar Pak Salim, Bu.”
“Itu urusan kamu, Bu Maya! Jangan kau ikut campurkan saya,”ketus sekali Bu Marni tampaknya.
“Apakah Ibu tega melihat saya diusir Pak Salim?”
Bu Marni tersenyum masa bodoh.
“Sekali lagi, itu urusan kamu, Bu Maya!”kata si pemilik warung makan tersebut tidak peduli.
“Apakah Bu Marni tetap tidak bisa memberikan pinjaman uang kepada saya, Bu?”
“Benar!”dengan tegas Bu Marni menjawab.
“Apakah Ibu tega melihat saya dan anak saya diguyur hujan dan dibakar terik matahari, Bu?”
“Tega saja!  Mengapa tidak?”sahut Bu Marni sinis.
“Kalau begitu, baiklah,”ujar Bu Maya pada akhirnya. “Berhubung hari sudah petang,”sambungnya lirih. “Saya mohon pamit untuk pulang, Bu,”dengan hati penuh kecewa Bu Maya meminta diri.
Bu Marni tidak menyahut sepatah kata pun. Hanya senyum sinis di bibirnya  saja yang mengiringi kepergian Bu Maya dan Arini. Ibu dan anak tadi melangkah meninggalkan warung makan Bu Marni dengan langkah gontai.

( Bersambung )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan masukkan komentar Anda dengan sopan dan tidak berbau SARA.